DPR ingatkan perhatikan akses dan layanan dalam KRIS guna capai UHC

3 months ago 26
Saya mengapresiasi langkah Kemenkes  yang memutuskan untuk memperpanjang masa transisi kebijakan KRIS hingga 31 Desember 2025. Ini langkah yang tepat

Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mengatakan jaminan kesehatan semesta (Universal Health Care/UHC) yang memberi akses bermutu dan setara bagi semuanya dalam layanan kesehatan perlu diperhatikan, termasuk dalam implementasi Kamar Rawat Inap Standar (KRIS).

Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa, Edy menyebutkan dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) aspek kepesertaan, akses ke layanan kesehatan, dan pembiayaan menjadi hal yang saling berkaitan.

KRIS, katanya, menjadi upaya peningkatan mutu layanan. Menurutnya, sekarang ini sudah terlihat beberapa rumah sakit telah memperbaiki ruang perawatannya seperti kriteria KRIS.

Baca juga: BPJS Kesehatan terus memaksimalkan perluasan cakupan UHC

Namun pihaknya menemukan ada beberapa masalah yang harus diselesaikan secara paralel. Pertama, wacana KRIS terus menguat. Apalagi dalam aturan akan diterapkan dalam beberapa bulan ke depan. Sayangnya, kata dia, kesiapan belum terlihat matang, sehingga Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunda penerapannya hingga Desember 2025.

“Saya mengapresiasi langkah Kemenkes yang memutuskan untuk memperpanjang masa transisi kebijakan KRIS hingga 31 Desember 2025. Ini langkah yang tepat, sekaligus sinyal bahwa kebijakan ini belum matang. Kebijakan publik yang menyangkut jutaan jiwa tidak bisa dibuat terburu-buru,” kata Edy.

Dia melanjutkan ada sejumlah hal mendasar yang perlu dibahas, seperti apakah KRIS akan menggantikan sistem tiga kelas rawat inap atau sekadar penyeragaman standar layanan antar-kelas.

Baca juga: Menkes: KRIS mulai diterapkan semua RS pada Juni 2025

“Kita harus membuka mata, implementasi KRIS berpotensi memangkas ketersediaan tempat tidur karena konfigurasi ruang rawat harus diubah. Kalau jumlah tempat tidur menurun, maka akses publik terhadap rawat inap akan ikut turun,” katanya.

Masalah lain yang dia soroti adalah tumpukan pending claim antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit. Setiap tahun, kata dia, rumah sakit menanggung beban keuangan akibat klaim yang tertunda. Menurut Edy, alasannya klasik, yakni dokumen tidak lengkap, kesalahan coding, atau beda tafsir dengan verifikator BPJS Kesehatan.

Edy menilai perlu ada peninjauan Pasal 11 huruf D dan E UU 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan, dimana pasal ini memberi wewenang besar kepada BPJS untuk menentukan validitas klaim dan memutus kontrak kerjasama. Sedangkan, katanya, rumah sakit tidak punya opsi selain ikut.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |