Makassar (ANTARA) - Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Komjen Pol (Purn) Lotharia Latif mewacanakan langkah strategis jeda penangkapan ikan melalui sistem buka tutup yang bertujuan memberikan kesempatan waktu ikan berkembang biak.
"Ikan juga makhluk hidup. Mereka perlu waktu untuk kawin dan bertelur. Jangan kita habiskan (ditangkap tanpa jeda) terus-menerus," tuturnya usai menghadiri pertemuan tahunan Unit Pengelola Perikanan (UPP) Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 16-18 Juli 2025 di Kampus Unhas Makassar, Sulawesi Selatan, Senin.
Menurutnya, sistem jeda penangkapan merupakan bagian dari strategi dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Apabila ikan di laut terus menerus ditangkap tanpa memberikan kesempatan berkembang biak, maka bisa menjadi bom waktu.
Dengan memberikan waktu ikan berkembang biak, ucap dia, maka hasil tangkapan dapat lebih maksimal. Kendati wacana ini belum diterapkan secara nasional, namun pihaknya optimistis bisa diterapkan, mengingat proses pengembangbiakan ikan sudah terjadi secara ilmiah.
Baca juga: KKP sederhanakan aturan denda di sektor perikanan
Oleh karena itu, pihaknya berharap, melalui pertemuan tahunan UPP WPPNRI 713, 714, dan 715 tersebut dapat melahirkan kebijakan-kebijakan strategis, sehingga praktik jeda penangkapan ikan bisa diterapkan, apalagi dikuatkan melalui regulasi.
Mantan Kapolda Maluku ini juga menyoroti adanya konflik perbatasan wilayah tangkap yang kerap terjadi akibat perbedaan aturan antarprovinsi. Semestinya, pengelolaan laut bersifat nasional, bukan terfragmentasi antardaerah.
"Harus diingat, laut ini milik bersama. Kalau setiap daerah membuat aturan mereka sendiri-sendiri maka akan terjadi ketimpangan, terutama bagi daerah yang minim potensi ikannya," ungkap dia.
Lotharia juga menyoroti masih maraknya praktik ilegal fishing atau penangkapan ikan ilegal dan Transhipment atau alih muat ikan di tengah laut yang selama ini merugikan negara.
Untuk itu, diperlukan penguatan serta integritas pihak terkait soal data, pengawasan laut termasuk koordinasi antardaerah guna mencegah praktik-praktik ilegal tersebut.

Mengenai dengan pembagian kuota perikanan, lanjut dia, sampai sejauh ini belum ada angka final, begitu pula di wilayah Sulsel yang masuk dalam cakupan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 713 dan 714.
Terkait dengan aspek fiskal dan ketertiban pengelolaan hasil laut terhadap kontribusi nelayan pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP), ungkap dia, dari total nelayan di Indonesia, 65 persen tergolong nelayan kecil tidak dikenakan PNBP.
Baca juga: KKP gelar pertemuan tahunan UUP WPPNRI bahas pengelolaan perikanan
Namun dari jumlah itu, sisanya kelompok nelayan besar didorong menyumbang PNBP karena memiliki daya saing ekonomi yang tinggi. Keadilan fiskal, kata dia, menjadi hal penting dalam mendukung subsidi silang.
Artinya, nelayan besar bisa mendukung program pemberdayaan nelayan kecil. "Tetapi, hal ini bisa kita lakukan kalau pencatatannya rapi dan tidak ada kebocoran," paparnya menekankan kepada wartawan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulsel Muhammad Ilyas menambahkan pengelolaan WPP 713 adalah tanggung jawab bersama dan bukan milik Sulsel semata. Sebab, WPP ini mencakup tujuh provinsi yakni NTT, NTB, Kaltim, Kalsel, Sulbar, dan Sulsel.
Ia menyebut potensi ikan di WPP 713 mencapai sekitar 1 juta ton, namun yang boleh ditangkap hanya 75 persen demi menjaga keberlanjutan stok. Dari data, nelayan Sulsel tercatat menangkap sekitar 500 hingga 511 ribu ton per tahun.
Baca juga: KKP dan KI kerja sama kembangkan kawasan ekosistem karbon biru
Baca juga: Pengembangan budi daya perikanan dorong swasembada pangan
Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.