Jakarta (ANTARA) - Dunia pernah merekam sejarah kepahitan dari Jepang tentang the lost decade yang membawa negeri Matahari Terbit itu jatuh ke dalam pusaran deflasi berkepanjangan.
Setelah gelembung ekonomi pecah pada akhir 1980-an, Jepang mengalami deflasi berkepanjangan yang menyebabkan stagnasi ekonomi selama lebih dari satu dekade sejak 1990-an hingga awal milenium.
Harga-harga terus menurun, perusahaan menahan investasi, dan masyarakat lebih memilih menabung daripada membelanjakan uang mereka.
Bank-bank kewalahan menghadapi kredit macet, sementara kebijakan moneter yang longgar tidak cukup ampuh untuk membalikkan keadaan. Alih-alih menjadi solusi, ekspektasi deflasi yang terus berulang justru memperparah stagnasi ekonomi.
Fenomena ini menjadi cerminan bagaimana deflasi bukan sekadar tentang turunnya harga barang dan jasa, tetapi juga tentang bagaimana sentimen pasar dan keputusan ekonomi masyarakat dapat membentuk lingkaran yang sulit diputus.
Kini, Indonesia pun harus mewaspadai, jangan sampai masuk ke jurang yang sama, setelah Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengumumkan bahwa Indonesia mengalami deflasi tahunan sebesar 0,09 persen year-on-year (yoy) dan bulanan 0,48 persen pada Februari 2025.
Ini adalah kali pertama Indonesia mengalami deflasi tahunan sejak 25 tahun terakhir, setelah tercatat pernah terjadi pada Maret 2000.
Deflasi Februari 2025 yang terjadi di Tanah Air itu, seperti menandai momen bersejarah dalam ekonomi nasional.
Kendati juga membawa banyak pertanyaan, apakah ini pertanda ekonomi melemah, atau justru bagian dari siklus penyesuaian harga yang sehat? Apa yang bisa dipelajari dari Jepang, dan bagaimana Indonesia bisa mencegah jebakan stagnasi yang sama?
Sinyal ekonomi
Deflasi sendiri merupakan kondisi ketika harga barang dan jasa mengalami penurunan dalam jangka waktu tertentu. Meski terdengar menguntungkan bagi konsumen karena daya beli meningkat, deflasi yang berlarut-larut bisa menjadi sinyal bahaya bagi perekonomian, terutama jika disebabkan oleh lemahnya permintaan dan investasi.
Meskipun demikian, dalam konteks Indonesia sebenarnya bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan berlebihan. Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro berpendapat deflasi yang terjadi pada Februari, baik secara tahunan maupun bulanan (0,48 persen month-to-month/mtm), sebagian besar disebabkan oleh faktor sementara, bukan perubahan mendasar dalam dinamika harga.
Intervensi pemerintah, seperti diskon tarif listrik 50 persen dan pengendalian harga pangan, telah berhasil menekan inflasi. Namun, ketika kebijakan-kebijakan ini mulai berkurang, ada kemungkinan tekanan harga akan kembali muncul dalam beberapa bulan mendatang
Meski harga yang diatur mengalami penurunan yang tajam, inflasi inti tetap menunjukkan tren peningkatan. Menurutnya, perkembangan ini menunjukkan masih ada tekanan harga global, terutama karena depresiasi rupiah dan kenaikan harga emas.
Memang jika ditelisik lebih dalam, pada Februari 2025, beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap deflasi adalah penurunan harga energi, terutama listrik, serta koreksi harga pangan akibat peningkatan pasokan.
Pemerintah memberikan diskon tarif listrik sebesar 50 persen kepada pelanggan dengan daya 450 VA hingga 2.200 VA selama dua bulan pertama tahun ini.
Kebijakan ini menekan indeks harga konsumen karena listrik memiliki bobot cukup besar dalam perhitungan inflasi. Selain itu, harga beberapa komoditas pangan, seperti beras, tomat, dan cabai merah mengalami penurunan akibat panen yang lebih baik dan peningkatan pasokan.
Hal ini berdampak pada turunnya harga di pasar domestik, yang pada akhirnya mendorong deflasi lebih jauh.
Namun, ada sisi lain dari fenomena ini yang perlu dicermati lebih dalam. Jika deflasi terjadi karena penurunan daya beli dan melemahnya aktivitas ekonomi, maka ini bisa menjadi masalah serius.
Data BPS menunjukkan bahwa inflasi inti masih berada di level 2,48 persen, yang berarti tekanan harga dari sisi permintaan belum benar-benar melemah.
Namun, jika tren penurunan harga terus berlanjut dan mempengaruhi investasi serta produksi, maka dampaknya bisa lebih dalam dari sekadar penyesuaian harga.
Indonesia tetap saja harus belajar dari Jepang atas peristiwa the lost decade yang menjadi peringatan bahwa deflasi yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan siklus yang sulit diputus.
Dalam konteks Indonesia, deflasi yang terjadi saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kebijakan dan peningkatan pasokan daripada melemahnya daya beli secara drastis.
Namun, ini bukan berarti kita berdiam diri saja. Langkah-langkah konkret harus segera diambil untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memastikan tren deflasi ini tidak berlanjut menjadi fenomena berkepanjangan yang merugikan.
Pemerintah perlu lebih aktif dalam menjaga keseimbangan antara stimulus fiskal dan stabilitas harga.
Insentif listrik yang diberikan jelas membantu masyarakat dalam jangka pendek, tetapi kebijakan seperti ini sebaiknya disertai dengan langkah lanjutan untuk memastikan permintaan tetap stabil.
Salah satunya adalah dengan mempercepat proyek infrastruktur dan investasi yang bisa membuka lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan masyarakat.
Kemudian, Bank Indonesia juga harus mempertimbangkan langkah kebijakan moneter yang lebih fleksibel. Jika tren deflasi terus berlanjut, maka penyesuaian suku bunga bisa menjadi opsi untuk mendorong investasi dan konsumsi.
Namun, langkah ini perlu dipertimbangkan dengan hati-hati agar tidak memicu ketidakseimbangan dalam sektor keuangan.
Sementara itu, dunia usaha harus mulai bersiap menghadapi kemungkinan perubahan pola konsumsi.
Jika masyarakat menunda belanja karena ekspektasi harga akan terus turun, maka dunia usaha perlu mencari cara untuk tetap menjaga permintaan.
Strategi promosi yang lebih kreatif, diversifikasi produk, dan efisiensi operasional bisa menjadi solusi agar bisnis tetap tumbuh di tengah tekanan deflasi.
Rekomendasi konkret
Beberapa rekomendasi konkret bisa diimplementasikan dalam jangka pendek dan menengah untuk mengantisipasi potensi stagnasi atau resesi.
Pemerintah, di antaranya bisa mendorong sektor riil dengan mempercepat realisasi belanja modal negara untuk proyek infrastruktur dan energi terbarukan.
Sektor manufaktur dan UMKM juga perlu diberikan dukungan, baik dalam bentuk insentif pajak maupun kemudahan akses pembiayaan agar mereka tetap dapat beroperasi dengan optimal.
Dalam sektor keuangan, perbankan perlu memastikan bahwa kredit tetap mengalir ke sektor-sektor produktif.
Jika deflasi berlanjut, ada risiko bahwa masyarakat dan dunia usaha akan lebih memilih menyimpan uang daripada membelanjakannya, yang bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.
Oleh karena itu, kebijakan perbankan yang lebih proaktif dalam menyalurkan kredit ke sektor riil menjadi sangat penting.
Untuk jangka panjang, Indonesia perlu memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya bergantung pada stimulus jangka pendek, tetapi juga pada inovasi dan peningkatan daya saing.
Pengembangan industri berbasis teknologi, investasi dalam riset dan pengembangan, serta kebijakan yang mendukung transformasi ekonomi digital bisa menjadi langkah strategis untuk memastikan ekonomi tetap tumbuh meskipun menghadapi tekanan harga.
Ada satu aspek lain yang perlu diperhatikan, yaitu faktor psikologis dalam ekonomi. Ekspektasi masyarakat terhadap harga bisa berpengaruh besar terhadap pola konsumsi dan investasi.
Jika masyarakat percaya bahwa deflasi hanya sementara dan ekonomi akan kembali stabil, maka mereka cenderung tetap berbelanja dan berinvestasi.
Namun, jika ekspektasi berubah menjadi pesimistis, maka siklus deflasi bisa menjadi lebih sulit dihentikan. Oleh karena itu, komunikasi yang jelas dari pemerintah dan Bank Indonesia menjadi faktor kunci dalam mengelola sentimen pasar.
Maka menjadi kabar baik ketika platform komunitas UKMINDONESIA.ID yang didirikan Dewi Meisari Haryanti menyelenggarakan survei mandiri melibatkan 4.500 responden UMKM dan hasilnya, sebanyak 3.200 responden atau sekitar 71 persen dari peserta survei mengaku optimistis masih bisa meningkatkan keuntungan pada Ramadhan tahun ini.
Ini menjadi sinyalemen positif bahwa UMKM masih bisa meraup untung setelah melihat tren pemesanan ulang dari pelanggan, ini sekaligus menunjukkan masih ada daya beli yang bertumbuh.
Pada akhirnya, deflasi Februari 2025 bukanlah sekadar angka statistik, tetapi cerminan dari dinamika ekonomi yang lebih kompleks.
Jika ditangani dengan tepat, fenomena ini bisa menjadi bagian dari siklus ekonomi yang sehat, di mana harga menyesuaikan diri dengan keseimbangan baru.
Namun, jika dibiarkan tanpa strategi yang jelas, deflasi bisa menjadi awal dari tantangan ekonomi yang lebih besar.
Dengan kombinasi kebijakan fiskal yang tepat, langkah moneter yang terukur, serta peran aktif dunia usaha dan masyarakat, Indonesia bisa melewati tantangan ini dengan baik dan memastikan pertumbuhan ekonomi tetap berkelanjutan.
Copyright © ANTARA 2025