Cegah konflik lahan, Pemkab Landak data ulang hutan adat

1 week ago 5
Pendataan hutan adat tidak dapat dilakukan secara serampangan karena harus dilandasi bukti historis, keterangan saksi, dan pengakuan komunitas adat secara menyeluruh

Pontianak (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Landak, Kalimantan Barat terus melakukan pendataan dan verifikasi terhadap klaim hutan adat yang disampaikan masyarakat, sebagai bagian dari upaya menjaga keseimbangan antara pengakuan hak masyarakat adat dan kepastian investasi di sektor kehutanan dan perkebunan.

"Pendataan hutan adat tidak dapat dilakukan secara serampangan karena harus dilandasi bukti historis, keterangan saksi, dan pengakuan komunitas adat secara menyeluruh. Hutan adat tidak bisa muncul begitu saja, harus ada sejarah, ada kesaksian dari masyarakat sekitar, dan dilakukan verifikasi lapangan dan kami sangat berhati-hati agar tidak terjadi klaim sepihak yang justru menghambat investasi," kata Bupati Landak Karolin Margret Natasa dalam rapat bersama Komisi II DPR RI, di Pontianak, Rabu.

Ia menyebutkan di beberapa wilayah, perusahaan perkebunan telah memberi ruang kepada masyarakat adat untuk mengelola sebagian lahan sebagai kas desa. Namun, hal itu belum terjadi secara merata di seluruh wilayah Landak, tergantung kesiapan masing-masing desa.

Karolin juga menyoroti masih adanya perusahaan perkebunan yang belum mengantongi izin hak guna usaha (HGU) meski sudah memiliki izin usaha perkebunan. Ia menegaskan bahwa Pemkab Landak telah meminta perusahaan-perusahaan tersebut untuk segera mengurus HGU, karena hal itu berpengaruh pada pendapatan daerah dari sektor BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).

"Terdapat pula perusahaan yang sudah memiliki HGU, namun tidak beroperasi karena berbagai alasan, mulai dari kendala manajemen hingga pembiayaan. Ini perlu dievaluasi karena merugikan petani plasma dan masyarakat sekitar," tuturnya.

Baca juga: Perempuan penjaga harmonisasi alam dari Dayak Iban

Ia berharap Komisi II DPR RI dapat membantu mendorong pengawasan dan penertiban terhadap perusahaan yang tidak aktif mengelola lahan meski telah diberikan konsesi.

Terkait birokrasi perizinan, ia mengakui bahwa sebagian besar kewenangan kini berada di pemerintah pusat. Namun menurutnya, persoalan bukan terletak pada panjangnya jalur birokrasi, melainkan pada kelancaran proses administrasi.

"Selama proses berjalan lancar, kami tidak mempermasalahkan regulasi berjenjang. Tetapi yang sering menjadi hambatan adalah macetnya komunikasi dan koordinasi, terutama dengan instansi pusat," ujarnya.

Ia menyampaikan bahwa pihaknya sangat terbantu dengan penggunaan aplikasi digital seperti BUMi dan Satu Data, yang memudahkan verifikasi dan pemetaan wilayah. Meski demikian, ia menekankan pentingnya dukungan legislatif agar masalah lahan dan kehutanan bisa ditangani lebih cepat.

Baca juga: DAD Kanayatn Kalbar kukuhkan hutan adat Ohak

Pemkab Landak juga menyoroti potensi konflik antara masyarakat adat dengan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Perkebunan dalam Kawasan Hutan, mengingat fakta bahwa banyak masyarakat adat telah menanam di wilayah yang secara legal masuk dalam kawasan hutan negara.

"Walau dalam skala kecil dan bukan korporasi, aktivitas ini bisa menimbulkan persoalan jika tidak ditangani dengan bijak. Kita perlu kebijakan yang lebih fleksibel namun tetap dalam koridor hukum," katanya.

Karolin menegaskan bahwa pihaknya mendukung penuh upaya percepatan pengakuan wilayah adat secara resmi agar masyarakat adat dapat memperoleh kepastian hukum atas lahan yang mereka kelola secara turun-temurun.

Baca juga: Presiden serahkan sertifikat TORA dan SK Hutan Adat di Kalbar

Pewarta: Rendra Oxtora
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |