Jakarta (ANTARA) - Calon hakim agung Agustinus Purnomo Hadi, mengusulkan agar tindak pidana koneksitas diadili di pengadilan umum demi menyinergikan antara keadilan dan kepastian hukum dalam proses pemeriksaan perkara.
“Tindak pidana koneksitas diadili di pengadilan umum. Jadi, tindak pidana koneksitas diadili di pengadilan umum, militernya juga diadili di pengadilan umum bersama-sama dengan sipil oleh majelis yang sama,” kata Agustinus saat uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Mahkamah Agung itu menjelaskan, tindak pidana koneksitas terdiri atas dua pelaku atau lebih yang tunduk pada peradilan berbeda, yakni umum dan militer.
Adapun basis tindak pidana koneksitas ialah deelneming atau penyertaan. Namun, pada praktiknya, tindak pidana koneksitas cenderung diadili secara terpisah.
“Yang militer diadili di pengadilan militer, yang sipil diadili di pengadilan sipil, sesuai dengan kompetensi absolut sejak dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan dilakukan secara splitzing (dipisah),” ucap dia.
Agustinus menyebut pemeriksaan perkara koneksitas secara penyertaan baru diterapkan dalam kasus besar yang menarik perhatian publik, khususnya tindak pidana korupsi (tipikor). Sementara itu, pidana umum lainnya belum diberlakukan demikian.
Menurut dia, kondisi itu setidaknya memiliki tiga kelemahan.
Pertama, ketika terdakwa dihadirkan sebagai saksi di perkara terdakwa lainnya atau disebut saksi mahkota. Pidana koneksitas yang diperiksa secara terpisah memungkinkan terdakwa sipil dihadirkan untuk perkara terdakwa militer, begitu pula sebaliknya.
“Secara tidak langsung juga ini terjadi kehilangan kebebasan bagi tersangka, hak ingkarnya tentu dihilangkan karena sudah pernah disumpah ketika jadi saksi,” kata dia.
Kedua, terjadi potensi disparitas pemidanaan. Karena perkara koneksitas diadili dua pengadilan yang berbeda, terdapat kemungkinan majelis hakim menjatuhkan putusan yang berbeda.
Ketiga, perihal barang bukti. Menurut dia, ketika diproses secara terpisah, pengadilan umum dan pengadilan militer akan berebut menghadirkan barang bukti yang sama, terutama ketika salah satu pengadilan tengah memeriksa barang bukti tersebut.
“Tiga kelemahan ini tentu bisa dihindari kalau praktik dua pelaku tindak pidana yang tunduk pada pengadilan yang berbeda ini diadili dalam proses koneksitas sehingga sinergitasnya, keadilannya, dan kepastian hukumnya akan tercapai,” ucapnya.
Oleh sebab itu, dalam makalah yang ia presentasikan di hadapan Komisi III DPR RI, Agustinus berkesimpulan bahwa tindak pidana koneksitas sebaiknya diadili di pengadilan umum. Kendati begitu, dia tidak menutup kemungkinan perkara tersebut diadili di pengadilan militer.
“Kecuali ditemukan dari hasil pemeriksaan penyidikan ada keadaan tertentu. Keadaan tertentu itu dilihat dari kepentingan kerugian. Jika kerugian besar ada pada militer, barulah diadili di pengadilan militer, berdasarkan keputusan ketua Mahkamah Agung,” ucapnya.
Dia meyakini memeriksa dan mengadili pelaku tindak pidana koneksitas dengan dakwaan dan di pengadilan yang sama akan memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum, sekaligus menciptakan peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.
Diketahui Komisi III DPR RI menggelar uji kelayakan dan kepatutan untuk 13 calon hakim agung dan tiga calon hakim ad hoc hak asasi manusia di Mahkamah Agung yang sebelumnya telah diseleksi oleh Komisi Yudisial.
Uji kelayakan dan kepatutan dimulai pada Selasa (9/9) kemarin, dilanjutkan pada Rabu ini, lalu disambung pada Kamis (11/9) dan Selasa (16/9). Pada hari terakhir, akan dilaksanakan pula rapat pleno Komisi III DPR RI untuk penetapan calon terpilih.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.