Mataram (ANTARA) - Musim hujan selalu menjadi berkah sekaligus ujian bagi banyak wilayah di Indonesia.
Di beberapa tempat, hujan membawa kesuburan dan harapan baru bagi sawah-sawah yang menguning. Namun, di wilayah lain, air yang sama justru berubah menjadi ancaman. Ia seakan menghapus batas antara alam yang memberi dan alam yang menuntut kembali ruangnya.
Begitulah yang terjadi di ujung timur Pulau Sumbawa. Beberapa desa di Kabupaten Bima, tepatnya di Kecamatan Wera dan Ambalawi, masih menyimpan jejak luka banjir bandang yang menerjang pada Februari 2025. Kala itu, air cokelat pekat menghantam rumah-rumah kayu, membelah keberanian warga yang dalam satu malam berubah menjadi pengungsi.
Di Ambalawi, tercatat 170 keluarga atau 253 jiwa terdampak langsung, sedangkan di Wera 79 keluarga atau 218 jiwa.
Kerusakan infrastruktur pun tak kalah mengerikan. Delapan jembatan putus, tanggul bendung rusak, dan saluran irigasi jebol sepanjang 400 meter. Semua itu melumpuhkan aktivitas ekonomi dan sosial.
Kini, setelah beberapa bulan berlalu, penanganan pascabanjir telah mendapatkan alokasi anggaran. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menyiapkan dana sebesar Rp1 miliar dalam APBD Perubahan 2025 untuk memperbaiki infrastruktur di dua kecamatan tersebut.
Tapi apakah angka ini cukup dan tepat sasaran? Ini bukan hanya cerita tentang banjir, melainkan tentang bagaimana kita membangun kembali bukan hanya fisik, tetapi juga semangat dan ketahanan masyarakat.
Infrastruktur dan ketahanan
Kerusakan fisik yang terjadi bukan sekadar soal pembangunan yang rusak, namun juga soal sistem yang rapuh. Saluran irigasi yang jebol berarti petani tak bisa menanam, dam sabo yang runtuh berarti aliran air tak bisa dikendalikan, dan jembatan yang putus berarti konektivitas warga terputus.
Anggaran Rp1 miliar yang dialokasikan oleh Pemprov NTB menjadi sinyal positif. Namun melihat skala kerusakan yang meluas, muncul pertanyaan. Apakah dana itu cukup dan dikelola secara efektif? Catatan lokal menunjukkan bahwa masih banyak warga yang menuntut perbaikan rumah, relokasi, dan irigasi.
Yang menarik, pengalokasian dana ini menandai pergeseran paradigma penanganan pasca-bencana, yakni dari sekadar bantuan darurat menuju pemulihan terencana.
Baca juga: Banjir bandang dan tanah longsor kembali terjang Sumbawa
Fokus penanganan pasca-bencana bukan hanya rumah dan jembatan, tetapi juga pertanian, yakni normalisasi sungai dan bronjongisasi --pemasangan kawat berisi batu untuk menahan erosi dan memperkuat tebing sungai.
Namun, ada dua tantangan yang tak boleh diabaikan, yakni pertama, data dan proses rehabilitasi rumah yang masih berjalan lambat. Hingga September 2025, warga bahkan sempat memblokade jalan karena belum melihat adanya tindakan nyata.
Kedua, akses anggaran seperti Belanja Tak Terduga (BTT) dikhawatirkan tak diprioritaskan untuk korban, melainkan dialihkan ke program-program lain.
Artinya perbaikan infrastruktur bukan sekadar memasang batu dan semen. Ia menyangkut kepercayaan masyarakat bahwa negara hadir, bahwa anggaran tak hanya angka, tapi perubahan nyata.
Baca juga: BMKG: Waspada banjir rob di pesisir NTB hingga 29 Juni
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

















































