APBN 2026 dan harapan baru daerah

3 hours ago 4

Jakarta (ANTARA) - RAPBN 2026 membawa angin segar bagi daerah. Di tengah kegelisahan akibat pemotongan belanja pada tahun sebelumnya, keputusan pemerintah bersama Badan Anggaran DPR RI untuk menambah alokasi transfer ke daerah (TKD) dari Rp650 triliun menjadi Rp693 triliun memberi ruang bernapas, sekaligus sinyal perbaikan desain fiskal pusat–daerah.

Kesepakatan dalam rapat kerja Kamis, 18 September, itu lahir setelah menyerap masukan lintas komisi dan merespons gejolak di lapangan, termasuk kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dilakukan secara drastis oleh sejumlah pemerintah daerah.

Kenaikan PBB memang menjadi salah satu indikator betapa rapuhnya ruang fiskal daerah ketika transfer dari pusat menyusut, sehingga pemerintah kabupaten dipaksa menutup celah layanan dasar dengan kebijakan yang mudah memantik resistensi sosial.

Dalam konteks itulah tambahan Rp43 triliun patut dibaca bukan semata angka, melainkan instrumen menstabilkan pelayanan publik.

Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) menyambut keputusan ini dengan nada lega.

Ketua Umum Apkasi Bursah Zarnubi menyampaikan apresiasi, sekaligus catatan ukurannya.

Ia menilai meski jumlah tambahan ini masih jauh dari ideal yang diharapkan Apkasi sebesar Rp150 triliun, tambahan Rp43 triliun ini sudah sangat membantu. Burzah bersama 20 pengurus Apkasi mengatakannya seusai audiensi dengan Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian di Kantor Kemendagri, Jakarta, Kamis (18/9).

Pernyataan itu menempatkan diskusi pada rel yang tepat bahwa ada terima kasih atas perbaikan, tetapi juga ada kompas ke arah target yang lebih memadai agar fungsi-fungsi layanan dasar tidak sekadar berjalan, namun meningkat kualitasnya.

Kekhawatiran Apkasi bertumpu pada pengalaman pahit tahun sebelumnya. Pemotongan TKD hingga 30 persen memaksa banyak daerah memangkas pos-pos kebutuhan dasar, strategis, dan mandatori, sebuah pukulan telak, terutama bagi kabupaten dengan APBD di bawah Rp1 triliun.

Dengan ruang fiskal menyempit, risikonya adalah penundaan program kesehatan ibu-anak, keterbatasan operasional puskesmas, tersendatnya perbaikan jaringan jalan penghubung desa, hingga pengurangan kegiatan penunjang pendidikan.

Dalam situasi seperti itu, kenaikan TKD menjadi bantalan minimal agar layanan tidak runtuh beruntun.

Hanya saja, sebagaimana diingatkan Bursah Zarnubi, yang juga menegaskan sensitivitas penyaluran, desain penugasan belanja dari pusat harus memberi ruang dialog.

Jika nantinya TKD lebih banyak disalurkan lewat skema bantuan presiden (banpres) atau instruksi presiden (inpres), daerah berharap ada kanal konsultasi agar program yang turun benar-benar cocok dengan kebutuhan nyata masyarakat kabupaten.

Bagi Apkasi, sayang kalau ada inpres, tapi tidak sesuai dengan kebutuhan di daerah, karena manfaatnya tidak bisa dirasakan masyarakat langsung. Pesan ini sederhana, tapi krusial bahwa kebijakan yang baik nilainya bisa pudar jika salah sasaran.


DAU non-earmark

Nada konstruktif juga datang dari Wakil Ketua Umum Apkasi Mochamad Nur Arifin. Bupati Trenggalek itu menggarisbawahi bahwa jika angka TKD sudah final, maka keadilan dan efektivitasnya sangat ditentukan oleh cara menyalurkannya.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |