Jakarta (ANTARA) - Isu mengenai apakah suara perempuan termasuk aurat kembali memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan pemuka agama. Topik ini menjadi sorotan seiring meningkatnya peran perempuan dalam berbagai profesi yang menuntut penggunaan suara, seperti daiyah, qariah, pengajar, hingga penyanyi.
Untuk menjawab persoalan ini, penting untuk menelusuri perspektif agama dan pandangan para ulama. Berbagai sumber terpercaya dapat menjadi rujukan guna memahami batasan syariat, konteks penggunaan suara perempuan, serta bagaimana hal ini diposisikan dalam praktik keagamaan dan sosial yang lebih luas.
Definisi aurat dalam Islam
Secara umum, aurat adalah bagian tubuh yang wajib ditutup dari pandangan atau pendengaran lawan jenis yang bukan mahram. Bagi perempuan, aurat meliputi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan menurut jumhur ulama. Namun, muncul pertanyaan: apakah hal ini juga berlaku untuk suara?
Pandangan ulama mengenai suara perempuan
Mayoritas ulama berpendapat bahwa suara perempuan tidak termasuk aurat secara mutlak. Hal ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa para sahabat, termasuk kaum laki-laki, kerap mendengar langsung istri Nabi dalam forum-forum ilmiah sehingga interaksi secara lisan tetap berjalan tanpa hambatan.
Syekh Wahbah al-Zuhayli juga berpendapat bahwa suara wanita bukan aurat, kecuali jika dapat memicu fitnah atau membangkitkan syahwat. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan mazhab Syafi’iyah yang membolehkan mendengar suara perempuan selama tidak disertai kesan yang menggoda.
Pendapat bahwa suara perempuan bukan aurat (dua pandangan berbeda)
Mayoritas ulama dari empat mazhab (Syafi‘i, Hanafi, Maliki, Hanbali) memandang bahwa suara perempuan tidak termasuk aurat secara materiil. Mereka berdalil bahwa para istri Nabi Muhammad SAW kerap menyampaikan hadis kepada sahabat laki‑laki, yang menunjukkan bahwa mendengar suara mereka diperbolehkan.
Namun, sebagian ulama berpendapat sebaliknya, bahwa suara perempuan bisa menjadi aurat, terutama jika meninggi dan terdengar oleh bukan mahram. Mereka mengacu pada surat An‑Nur ayat 31 yang melarang suara gemerincing gelang, sebagai analogi bahwa suara perempuan bisa lebih mudah menimbulkan fitnah.
Batasan dan konteks penggunaan suara
Meski suara perempuan tidak dianggap aurat secara mutlak, mayoritas ulama sepakat bahwa mendengarkan suara perempuan menjadi haram jika:
• Mengandung nada merayu atau lembut yang menimbulkan fitnah, bahkan jika sedang membaca Al Quran.
• Meninggikan volume suara sehingga terdengar oleh lawan jenis bukan mahram, seperti dalam adzan, nyanyian, atau ceramah yang bernuansa mengundang syahwat.
Mazhab Syafi‘i, misalnya, menganjurkan perempuan untuk merendahkan nada suaranya saat berbicara dengan bukan mahram, agar suaranya tidak terdengar menonjol.
Secara garis besar, suara perempuan tidak dianggap sebagai aurat menurut mayoritas ulama. Namun demikian, Islam tetap mengajarkan agar suara tersebut dijaga dengan penuh kehati-hatian, disampaikan dengan kesopanan, kesederhanaan, dan kesadaran akan potensi fitnah yang mungkin timbul.
Dari prinsip ini, dapat disimpulkan bahwa perempuan diperbolehkan bersuara, selama tetap menjunjung tinggi adab dan etika. Segala bentuk penyampaian harus sesuai dengan tuntunan syariat agar tidak melampaui batas yang ditetapkan dalam ajaran Islam.
Baca juga: Dosa mengumbar aurat bagi perempuan menurut ajaran Islam
Baca juga: Memamerkan aurat saat olahraga di bulan Ramadhan, bikin batal puasa?
Baca juga: Aurat dalam Islam: Pengertian, cara menjaga, dan batasan
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.