Kamar kosong tak menahan euforia MotoGP Mandalika

1 hour ago 1

Mataram (ANTARA) - Di salah satu penginapan sederhana di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Lili menatap layar komputer yang menampilkan daftar reservasi kamar. Dua minggu menjelang gelaran MotoGP Mandalika 2025, hotel masih sepi.

Biasanya, di masa-masa seperti ini, semua kamar sudah penuh. Poster-poster balapan menempel di dinding, di tiang lampu jalan, dan di depan toko-toko suvenir, seakan berteriak mengundang wisatawan.

Namun kenyataannya, sebagian besar kotak pada daftar booking online masih kosong. Lili menatap layar itu dengan raut campur aduk antara cemas dan bingung. Setiap klik mouse seakan menjadi doa agar reservasi berikutnya segera muncul.

Kisah Lili bukan hanya soal sepinya tamu, melainkan gambaran nyata dilema yang tengah dihadapi industri perhotelan NTB. Event olahraga internasional seperti MotoGP biasanya menjadi magnet yang menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.

Bahkan event itu memacu ekonomi lokal, menghidupkan bisnis kuliner, transportasi, hingga suvenir, sekaligus mempromosikan Lombok sebagai destinasi dunia. Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua perhitungan berjalan mulus.

Data dari asosiasi perhotelan menunjukkan tren yang membingungkan. Di Lombok Barat dan Kota Mataram, rata-rata okupansi hotel tercatat sekitar 70 persen. Sementara di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, tingkat hunian hampir menyentuh 80 persen.

Angka ini terdengar cukup menggembirakan, tetapi bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, masih lebih rendah. Pada perhelatan MotoGP sebelumnya, periode dua minggu sebelum balapan hampir selalu mencapai angka maksimal.

Di Mataram dan Lombok Barat, pemesanan kamar masih bergerak lambat, hanya berkisar 40–50 persen, sementara di Mandalika situasinya lebih baik, hampir 90 persen kamar telah terisi.

Dari total 13.039 unit kamar di seluruh Lombok, termasuk hotel berbintang dan non-bintang, sebagian besar pemesanan dilakukan secara daring dengan uang muka minimal. Ini menciptakan ketidakpastian tersendiri, apakah tamu yang memesan benar-benar akan datang atau membatalkan di menit-menit terakhir?.

Fenomena rendahnya animo wisatawan ini dipengaruhi beberapa faktor. Penjualan tiket yang baru mencapai sepertiga dari target menyebabkan pelaku industri perhotelan menahan napas. Persepsi harga juga menjadi penghambat.

Beberapa hotel menetapkan tarif tinggi, bahkan tiga hingga empat kali lipat harga normal, khusus untuk tamu internasional atau VIP, sementara tarif rata-rata tetap dalam batas wajar.

Bagi wisatawan yang sensitif terhadap harga, pilihan ini bisa membuat mereka berpikir ulang, menunda pemesanan, atau bahkan mencari alternatif di luar Lombok.

Aksesibilitas

Pemerintah daerah tampak serius menjaga keseimbangan harga agar tidak melonjak berlebihan. Strategi ini lebih dari sekadar regulasi formal, tetapi juga menegaskan komitmen menjaga citra NTB sebagai destinasi wisata yang ramah.

Patroli daring dan konvensional dilakukan untuk memantau platform pemesanan online, memastikan tidak ada hotel yang mematok tarif tidak wajar. Tujuannya jelas agar wisatawan merasa aman, bahwa akses menuju event internasional tidak eksklusif dan tetap terjangkau.

Kesadaran ini penting. Harga yang seimbang tidak hanya soal kepatuhan aturan, tetapi juga soal investasi jangka panjang. Wisatawan yang merasa puas dengan harga dan aksesibilitasnya cenderung kembali lagi di event berikutnya, bahkan merekomendasikan Lombok ke teman atau keluarga.

Dalam konteks ini, layar komputer Lili yang menampilkan kotak-kotak kosong bukan sekadar daftar reservasi, tetapi cermin kesiapan industri menghadapi tantangan globalisasi wisata.

Tantangan

Jika dibandingkan dengan perhelatan MotoGP sebelumnya, rendahnya okupansi kali ini dipengaruhi sejumlah faktor. Pertama, pola pembelian tiket kini lebih fleksibel. Penonton cenderung membeli mendekati hari H atau secara individu, bukan melalui paket tur lengkap.

Kedua, adanya event bersamaan di Asia Tenggara, seperti MotoGP Sepang di Malaysia seminggu setelah Mandalika, sedikit memengaruhi animo wisatawan, meski basis penggemarnya berbeda.

Ketiga, segmentasi wisatawan asing yang biasanya memilih tiga gili sebagai tujuan utama lebih loyal pada liburan panjang, bukan event sementara, sehingga tidak menimbulkan lonjakan signifikan di hotel-hotel sekitar Mandalika.

Fenomena ini menegaskan satu hal yakni daya tarik global sebuah event internasional saja tidak cukup. Strategi harga yang adaptif, promosi digital yang efektif, dan paket wisata terpadu menjadi syarat agar hotel dan destinasi mampu menampung pengunjung dengan optimal.

Tanpa perencanaan yang matang, event sebesar MotoGP bisa meninggalkan hotel-hotel kosong, lalu kembali ke rutinitas semula tanpa efek ekonomi yang signifikan.

Kolaborasi

Salah satu kunci untuk menghadapi tantangan ini adalah kolaborasi lintas pihak. Pemerintah daerah, ITDC, MGPA, asosiasi perhotelan, dan pelaku wisata lokal harus bekerja sama.

Paket tur terpadu yang menggabungkan tiket MotoGP dengan pengalaman destinasi lokal, misalnya mengunjungi gili, desa wisata, atau wisata kuliner Lombok, dapat mendorong wisatawan tinggal lebih lama. Dengan begitu, konsumsi ekonomi meningkat, dari transportasi, makanan, hingga belanja oleh-oleh.

Selain itu, promosi digital yang gencar melalui media sosial dan aplikasi pemesanan daring bisa mengubah persepsi wisatawan. Diskon khusus bagi warga NTB atau aparatur sipil negara turut membantu memacu pemesanan hotel lokal.

Semua langkah ini menegaskan bahwa perencanaan event besar tidak bisa dilakukan parsial. Kesuksesan tidak hanya diukur dari jumlah penonton di sirkuit, tetapi juga dari dampak ekonomi yang menyebar ke masyarakat luas.

MotoGP Mandalika lebih dari sekadar ajang balap motor. Ia menjadi refleksi kesiapan NTB menghadapi tantangan globalisasi wisata dan tekanan ekonomi modern.

Okupansi hotel yang belum optimal menunjukkan bahwa kesuksesan sebuah event internasional tidak ditentukan hanya oleh nama besar, tetapi juga oleh strategi ekonomi, distribusi harga, dan koordinasi multi-pihak.

Jika harga tetap wajar, promosi efektif, dan pengalaman wisata terpadu berhasil disajikan, NTB tidak hanya akan penuh menjelang balapan. Efek jangka panjang berupa loyalitas wisatawan, pertumbuhan ekonomi lokal, dan citra pariwisata yang kuat akan tercapai.

Layar digital yang menampilkan daftar reservasi dan papan hotel penuh warna bukan sekadar indikator okupansi, tetapi juga cermin kesiapan daerah menghadapi globalisasi.

Bagaimana NTB memanfaatkan momentum ini akan menentukan apakah Mandalika menjadi destinasi olahraga kelas dunia yang berkelanjutan, atau hanya fenomena sesaat yang meninggalkan hotel-hotel kosong setelah bendera finish dikibarkan.

Dan di balik semua angka, daftar reservasi, dan strategi, ada wajah-wajah seperti Lili yang setiap hari menatap layar komputer, menunggu momen ketika hotel mereka benar-benar hidup, penuh dengan tamu yang datang bukan sekadar untuk menonton balapan, tetapi juga merasakan seluruh pengalaman Lombok.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |