Jakarta (ANTARA) - Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota metropolitan, Siti (38), seorang ibu dengan tiga anak, setiap hari harus menghitung ulang pengeluaran rumah tangganya.
Siti mengaku, setiap kali mendengar pemerintah mengumumkan program bantuan sosial baru, ia bingung apakah keluarganya bisa ikut serta atau justru kembali tertinggal.
“Kadang dengarnya dari televisi, kadang dari tetangga. Tapi kalau tidak cepat mendaftar, katanya jatah kuotanya habis. Kami jadi takut ketinggalan,” ujarnya.
Kisah Siti bukanlah pengecualian. Ia mewakili banyak “Siti” lainnya di Indonesia. Di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok, sulitnya lapangan kerja, dan kesenjangan akses antara rakyat biasa dengan mereka yang memiliki koneksi kekuasaan, komunikasi publik pemerintah menjadi faktor krusial.
Realitas aktual yang dihadapi masyarakat sering kali berbeda dengan realitas faktual yang disampaikan dalam konferensi pers. Di sinilah strategi komunikasi berbasis psikologi sosial dan komunikasi massa seperti Fear of Missing Out (FOMO) dan Word of Mouth (WOM) diharapkan bisa menjembatani kesenjangan.
Komunikasi bukan hanya soal strategi pesan. Dalam banyak kasus, masyarakat yang frustrasi karena kebijakan tidak sesuai janji, lebih memilih turun ke jalan untuk menyuarakan protes.
Hal semacam itu baru-baru ini terlihat di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia, ketika masyarakat menolak program yang dianggap tidak transparan, berat sebelah, dan abai terhadap suara akar rumput.
Fenomena serupa juga muncul di Nepal ketika regulasi energi diubah, di Filipina saat reformasi pendidikan diterapkan, dan di Madagaskar ketika harga bahan pokok melonjak.
Aksi-aksi massa yang kebanyakan digerakkan Gen Z itu memperlihatkan betapa rentannya kepercayaan publik. Dalam situasi seperti ini, pemerintah seharusnya tidak sekadar defensif, melainkan berani berhadapan langsung, meminta maaf, menunjukkan komitmen memperbaiki keadaan, dan melaksanakan solusi realistis dengan serius.
Transparansi dan kerendahan hati membedakan komunikasi otentik dari sekadar lip service.
Landasan psikologi sosial
Dua prinsip utama FOMO dan WOM adalah scarcity (kelangkaan) dan social proof (bukti sosial). Robert Cialdini dalam buku Influence: The Psychology of Persuasion menekankan bagaimana individu terdorong bertindak ketika merasa kesempatan terbatas, serta ketika melihat banyak orang lain melakukannya.
Scarcity menjelaskan bahwa individu cenderung menilai peluang lebih tinggi ketika jumlahnya terbatas, sementara social proof menunjukkan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh perilaku orang lain yang terlihat.
Bagi pemerintah, FOMO dapat menciptakan urgensi agar masyarakat tidak ketinggalan program penting, sementara WOM memperkuat legitimasi kebijakan lewat testimoni warga.
Baca juga: Badan Komunikasi Pemerintah: Membangun komunikasi lebih responsif
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.