Jakarta (ANTARA) - Sejumlah ahli bidang kebencanaan mengingatkan hilangnya kepercayaan global ke Indonesia menjadi risiko yang juga harus dipertimbangkan Pemerintah jika anggaran untuk sistem monitoring dan peringatan dini gempa bumi serta tsunami dipangkas atau jadi sasaran efisiensi.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Harkunti Pertiwi Rahayu di Jakarta, Selasa, (11/2) mengatakan bahwa sistem monitoring dan peringatan dini gempa bumi serta tsunami milik Indonesia (InaTEWS) memegang peranan penting dalam mitigasi risiko bencana nasional dan juga kawasan, bahkan menjadi andalan bagi 28 negara di Samudera Hindia.
Sistem InaTEWS yang berada di bawah pengelolaan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tersebut pertama kali dikembangkan setelah tsunami Aceh 2004 kini telah dilengkapi dengan teknologi canggih berbasis sensor, kecerdasan buatan (AI), dan big data. Sistem ini dipercaya oleh berbagai negara seperti Jepang, Seychelles, Bangladesh, India, Maroko, Australia dan China.
"Sangat dimengerti upaya Pemerintah untuk pemangkasan dana karena beberapa pertimbangan efisiensi. Hanya sayangnya perlu prioritas terutama untuk sektor terkait kebencanaan, terutama operasional monitoring dan peringatan dini gempa tsunami ini," kata dia.
Peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menyatakan bahwa pemotongan dana dikhawatirkan berdampak pada operasional dan berpotensi menghambat kinerja sistem ini.
Sebagaimana dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI pada Kamis (6/2), diketahui bahwa anggaran BMKG mengalami pemangkasan drastis sebesar 50,35 persen, dari semula Rp2,826 triliun menjadi Rp1,423 triliun.
"Nah kepercayaan 28 negara kepada Indonesia bisa hilang jika sistem tidak bisa berjalan optimal karena pemangkasan anggaran atas nama efisiensi," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa membangun kepercayaan global, terutama dalam dunia kebencanaan, bukanlah hal yang mudah. Indonesia selama ini telah menjadi pelopor dalam mitigasi bencana, dan keputusan untuk memangkas anggaran bisa berdampak buruk pada citra serta kesiapsiagaan negara.
Harkunti juga menyoroti pentingnya perawatan dan keberlanjutan operasional peralatan InaTEWS. "Peralatan ini tidak bisa dibiarkan menganggur, karena jika tidak dioperasikan dan dirawat secara berkelanjutan, maka akan rusak," katanya.
Untuk itu, ia mengingatkan kembali tragedi tsunami Aceh 2004 yang menewaskan 170 ribu orang di Indonesia dan 50 ribu lainnya di negara-negara sekitar Samudera Hindia akibat ketiadaan sistem peringatan dini saat itu.
Sebagai negara yang berada di Lingkar Cincin Api Pasifik dan rawan bencana geologi, Indonesia sangat bergantung pada peralatan deteksi dan monitoring yang telah dibangun. Di sisi lain mengandalkan dana dari lembaga internasional atau filantropi untuk menutupi biaya operasional pun bukan solusi jangka pendek yang bisa diandalkan secara tiba-tiba.
Baca juga: Mendes PDT sebut efisiensi anggaran tak ganggu program prioritas desa
"Dan satu hal lagi, dana untuk respons bencana juga tidak boleh dipangkas. Kita tidak pernah tahu kapan dan seberapa besar bencana akan terjadi di 2025. Jadi iya, perlu pengecualian dalam bidang ini," tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BMKG Muslihhuddin mengatakan pihaknya mengajukan dispensasi anggaran karena efisiensi ini dikhawatirkan berdampak pada banyak Alat Operasional Utama (Aloptama) yang terancam mati karena kemampuan untuk pemeliharaan berkurang hingga sebesar 71 persen, sehingga observasi dan kemampuan mendeteksi dinamika cuaca, iklim, kualitas udara, gempabumi, dan tsunami juga terganggu.
Baca juga: Wamendagri: Retret kepala daerah ikuti kebijakan efisiensi anggaran
Adapun diketahui hampir 600 alat sensor untuk pemantauan gempa bumi dan juga tsunami yang tersebar di seluruh Indonesia merupakan salah satu Aloptama yang dimiliki oleh BMKG dan mayoritas kondisinya saat ini sudah melampaui usia kelayakan.
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2025