Jakarta (ANTARA) - Sebanyak 13 asosiasi penyelenggara haji dan umrah menilai, seharusnya kuota haji khusus dibuat minimal 8 persen, bukan maksimal 8 persen seperti dalam draf Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (RUU PIHU) yang tengah dibahas.
“Jamaah haji khusus itu juga rakyat Indonesia yang perlu dilayani oleh pemerintah dan juga para pelaku usaha. Sangat banyak, rakyat yang memilih daftar haji khusus karena faktor usia, kesehatan, cuti pendek, dan lainnya,” kata juru bicara Tim 13 Asosiasi Penyelenggara Haji dan Umrah Muhammad Firman Taufik di Jakarta, Rabu.
Firman menyebutkan, dalam draf RUU Haji dan Umrah yang telah disahkan menjadi usul inisiatif DPR pada24 Juli 2025, disebutkan dalam pasal 64 bahwa kuota haji khusus ditetapkan paling tinggi 8 persen dari kuota haji Indonesia.
Menurutnya, hal ini kontradiktif dengan keterangan di halaman penjelasan, yang menyebutkan bahwa serapan terhadap kuota tambahan belum maksimal.
Baca juga: RUU PIHU perbaiki kualitas penyelenggara haji
Dia menilai, penyerapan kuota haji tidaklah mudah. Apalagi harus dipenuhi dalam jangka waktu yang pendek.
“Haji khusus adalah solusi bagi jamaah lansia, sakit, atau terbatas waktu, serta mampu menyerap kuota tambahan yang sering tidak terserap bahkan ditolak karena keterbatasan,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Asosiasi Penyelenggara Haji Umroh dan In-Bound Indonesia (ASPHURINDO) Muhammad Iqbal mengatakan, batasan kuota haji paling tinggi 8 persen menciptakan ketidakpastian bagi jamaah yang sudah mendaftar bertahun-tahun.
Dia menyebutkan, per 12 Agustus 2025, ada 144.771 jamaah yang saat ini mengantri keberangkatan di haji khusus.
“Haji khusus juga bisa menjadi solusi bagi kapasitas di Mina yang terbatas,” kata Iqbal.
Baca juga: Asosiasi Bina Haji: perbaiki juga penyelenggaraan haji di Saudi
Baca juga: 13 asosiasi penyelenggara haji-umrah tolak legalisasi umrah mandiri
Senada, Ketua Umum Afiliasi Mandiri Penyelenggara Umrah dan Haji (AMPUH) Abdul Aziz menyebutkan, Indonesia seharusnya bisa meniru negara-negara muslim yang lain, contohnya Turki yang 40 persen kuota hajinya dikelola swasta, Mesir memberikan porsi kepada swasta sebesar 65 persen, Bangladesh bahkan menyerahkan pengelolaan kuota haji sebesar 93 persen ke pihak swasta.
“Kita bisa modelling ke negara-negara Muslim yang memberikan porsi besar kepada swasta untuk mengelola kuota haji. Bahkan Arab Saudi juga menyerahkan ke swasta melalui syarikah-syarikah untuk melayani jamaah haji. Dan itu terbukti mampu meningkatkan kualitas layanan dan menggerakkan ekonomi umat serta penyerapan kuota secara optimal,” kata Abdul.
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.