Banyuwangi (ANTARA) - Ratusan warga lokal dan wisatawan dari berbagai daerah antusias menyaksikan prosesi arak-arakan tradisi adat Barong Ider Bumi di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa.
Ritual Barong Ider Bumi digelar setiap hari kedua Hari Raya Idul Fitri dan dipercaya sebagai bentuk ikhtiar masyarakat untuk menolak bencana dan pageblug atau wabah penyakit yang pernah melanda desa itu pada masa lampau.
"Ritual Barong Ider Bumi pertama kali dilakukan sekitar tahun 1840-an, kala itu Desa Kemiren dilanda wabah yang menyebabkan banyak korban jiwa serta gagal panen akibat serangan hama. Keadaan semakin sulit dengan masa paceklik yang berkepanjangan," kata tokoh masyarakat adat Desa Kemiren, Suhaimi.
Ia menjelaskan barong dalam tradisi ini digambarkan sebagai sosok makhluk bermahkota dengan sayap yang dipercaya mampu melindungi desa dari marabahaya.
Suhaimi menceritakan sesepuh desa saat itu meminta saran kepada Mbah Buyut Cili, leluhur Desa Kemiren.
"Dalam mimpi, beliau mendapat petunjuk agar warga mengadakan arak-arakan barong keliling kampung sebagai upaya penolak bala," kata Suhaimi.
Baca juga: Suku osing Banyuwangi gelar ritual barong ider
Baca juga: Banyuwangi siapkan berbaga atraksi seni budaya selama libur Lebaran
"Ritual diawali dengan doa yang dipanjatkan oleh para tokoh pelestari barong di petilasan Buyut Cili," katanya menambahkan.
Sementara itu, Kepala Desa Kemiren Arifin mengemukakan rasa syukur atas terlaksananya ritual tahun ini meskipun dalam kondisi hujan.
"Kami tetap bersyukur karena hujan adalah anugerah dari yang Maha Kuasa," ujarnya.
Arifin mengatakan ritual Barong Ider Bumi merupakan bagian dari upaya pelestarian adat dan budaya.
"Ini merupakan kewajiban kami untuk melestarikan budaya leluhur, ke depan kami berharap tradisi ini tetap dilestarikan oleh generasi muda, sehingga budaya dan adat istiadat Osing tetap lestari," katanya.
Saat gamelan mulai dimainkan, barong siap diarak keliling desa dengan iringan masyarakat yang mengenakan pakaian adat, arak-arakan dimulai dari sisi timur Desa Kemiren menuju bagian barat, menempuh jarak sekitar 2 km.
Sepanjang perjalanan, tokoh adat melakukan tradisi sembur uthik-uthik, yaitu menebarkan sekitar 999 koin logam yang dicampur dengan beras kuning dan berbagai macam bunga sebagai simbol penolak bala.
Puncak acara ditandai dengan kenduri massal, di mana warga duduk bersama di sepanjang jalan desa, menikmati hidangan khas Banyuwangi, pecel pithik yang disajikan secara beramai-ramai.
Salah seorang wisatawan asal Surabaya, Dian Eka Putri Nasution mengaku atmosfer kekeluargaan dalam ritual ini sangat terasa.
"Yang paling saya suka adalah kendurinya, semua duduk bersama, makan bersama di jalanan desa. Rasanya hangat dan sangat membumi, ini pengalaman yang tidak bisa saya temukan di kota," katanya.
Baca juga: Bupati Banyuwangi: Tradisi Tumpang Sewu jadi atraksi menarik wisatawan
Baca juga: Pemkab ajak masyarakat kenali sejarah Banyuwangi lewat pameran
Pewarta: Novi Husdinariyanto
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2025