Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Hiariej menekankan bahwa revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) harus tetap mempertahankan pemisahan tugas antara polisi, jaksa, dan hakim.
Dia menyebutkan pemisahan tugas antara ketiganya merupakan diferensiasi fungsional yang menjadi asas dalam sistem peradilan pidana.
"Polisi adalah penyidik utama untuk seluruh tindak pidana. Sementara jaksa melakukan tugas penuntutan dan hakim melaksanakan tugas untuk mengadili," ujar Eddy, sapaan karib Wamenkum, dalam acara Seminar Nasional Kebaharuan KUHP Nasional dan Urgensi Pembaharuan KUHAP, yang dipantau secara daring di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Wamenkum nilai revisi KUHAP diperlukan untuk selaraskan KUHP baru
Ia menjelaskan polisi memiliki tugas sebagai penyidik utama, meski dibantu oleh penyidik pendukung alias supporter investigator. Dalam hal tersebut, penyidik pendukung merupakan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS).
Kendati demikian, dirinya menyebutkan fungsi koordinasi dan supervisi (pengawasan) dalam penyidikan tindak pidana tetap ada di bawah penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Tak hanya pemisahan tugas antara polisi, jaksa, dan hakim, Eddy menilai keadilan restoratif (restorative justice) juga harus mewarnai dan menjadi landasan kokoh revisi KUHAP.
"Paling tidak bagaimana restorative justice itu dimasukkan sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana," ucap dia.
Hal tersebut, kata dia, agar revisi KUHAP bisa selaras dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru, yang akan diterapkan pada 2 Januari 2026.
Baca juga: Pengamat: Revisi KUHAP jangan reduksi elemen fundamental
Menurutnya, penerapan keadilan restoratif nantinya sangat mungkin dilakukan pada tingkat penyidikan oleh penyidik, tingkat penuntutan oleh jaksa, maupun tingkat pengadilan oleh hakim, seiring penerapan KUHP baru.
Bahkan, sambung dia, apabila seseorang telah mendekam di dalam penjara, dalam status sebagai narapidana, bisa pula diberikan keadilan restoratif dengan berbagai persyaratan tertentu.
Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/2), telah menyetujui RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP menjadi RUU usul inisiatif DPR RI.
Adapun persetujuan itu dilakukan setelah seluruh fraksi partai politik di DPR RI menyampaikan pandangannya secara tertulis mengenai RUU KUHAP sebagai RUU usul inisiatif DPR RI oleh juru bicara fraksi masing-masing.
Sejak memasuki masa sidang setelah masa reses awal tahun 2025, Komisi III DPR RI mulai melakukan pembicaraan mengenai RUU KUHAP dengan mengundang berbagai narasumber, di antaranya Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Baca juga: Rapat Paripurna setujui RUU KUHAP menjadi RUU usul inisiatif DPR
RUU KUHAP pun masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang diusulkan oleh Komisi III DPR RI. Komisi III DPR RI menyatakan bahwa RUU KUHAP urgen untuk segera dibahas karena UU KUHP yang baru, akan berlaku pada 2 Januari 2026.
Selain itu, pengesahan KUHAP tersebut dinilai penting karena KUHAP merupakan hukum formal yang mengoperasikan pemberlakuan KUHP sebagai hukum materiil. Untuk itu, semangat politik hukum KUHAP harus sama dengan semangat politik hukum yang terkandung dalam KUHP.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Rangga Pandu Asmara Jingga
Copyright © ANTARA 2025