Jakarta (ANTARA) - Uni Eropa sangat menyesalkan keputusan Amerika Serikat untuk keluar dari Perjanjian Iklim Paris setelah Donald Trump kembali ke Gedung Putih.
“Kita semua telah menyaksikan bahwa Amerika Serikat meninggalkan Perjanjian Iklim Paris. Kami sangat menyesalkan hal ini, tetapi bukan berarti kita tak perlu bertindak lagi, bukan berarti kita harus memperlambat langkah,” kata Direktur Jenderal Aksi Iklim Komisi Eropa Diana Acconcia di Jakarta pada Rabu.
Pada pembukaan pertemuan Indonesia Energy Transition Facility (IETF), dia mengatakan bahwa dampak dari cuaca ekstrem salah satunya terlihat dari kebakaran yang terjadi di California, AS, akhir tahun lalu.
Oleh karena itu, kata dia, ada tantangan besar bagi mereka yang percaya bahwa dunia harus menghentikan perubahan iklim dan mereka yang mendukung kerja sama di bawah Perjanjian Paris.
“Planet ini tidak menunggu, jadi mereka yang masih percaya bahwa kita dapat berbuat sesuatu untuk menghentikan perubahan iklim harus terus bersatu. Itu adalah pesan pertama dan paling penting yang saya bawa dan telah saya diskusikan dengan Pemerintah Indonesia dan para mitra lainnya,” kata Acconcia.
Dia menegaskan bahwa Uni Eropa tetap berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim dan menjadikan Eropa benua dengan nol emisi pada 2050.
Menurut Acconcia, Uni Eropa berada di jalur yang tepat untuk mencapai target pengurangan emisi CO2 sebesar 55 persen pada 2030.
Kelompok 27 negara Eropa itu juga masih menjadi penyedia utama pendanaan iklim di seluruh dunia, katanya.
“Saya berada di sini untuk meningkatkan kerja sama dengan Indonesia agar kita dapat bersama menempuh perjalanan ini. Indonesia adalah mitra kunci bagi Uni Eropa dan aktor utama dalam aksi iklim,” kata dia.
Pejabat Komisi Eropa itu juga mengatakan bahwa Indonesia punya sumber daya besar dalam energi terbarukan dan berpeluang memproduksi teknologi bersih seperti baterai. Indonesia juga memiliki potensi untuk melakukan penangkapan dan penyimpanan karbon.
Selain itu, kata Acconcia, Indonesia memiliki industri yang mampu memproduksi bahan dasar seperti baja dan aluminium bagi teknologi ramah lingkungan.
“Namun, tantangannya, pasokan energi Indonesia masih sebagian besar bergantung pada batu bara," kata dia.
Dia mengungkapkan keyakinannya bahwa daya saing ekonomi Indonesia saat ini bergantung pada proses "penghijauan" sistem energinya.
Menurut dia, Indonesia secara bertahap akan beralih dari penggunaan bahan bakar fosil.
Program IETF di Indonesia mendapatkan total pendanaan sebesar 14,7 juta euro (sekitar Rp249 miliar), 10,6 juta euro di antaranya berasal dari Uni Eropa dan sisanya dari Prancis.
Program itu diharapkan bisa mempercepat transisi energi di Indonesia dengan pengembangan kebijakan dan dukungan bagi investasi energi berkelanjutan.
Baca juga: Menteri ESDM: Keluarnya AS dari Perjanjian Paris buat Indonesia dilema
Baca juga: PBB konfirmasi, AS secara resmi mundur dari Perjanjian Iklim Paris
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2025