UNDP soroti pentingnya kawasan ATS bagi pembangunan berkelanjutan

1 month ago 11

Jakarta (ANTARA) - Program Pembangunan PBB (UNDP) menyoroti pentingnya kawasan Laut Arafura dan Laut Timor (Arafura and Timor Seas/ATS) bagi pembangunan berkelanjutan dan penanganan isu perubahan iklim, keanekaragaman hayati dan polusi.

"Laut Arafura dan Laut Timor ini sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan dan mengatasi tiga krisis planet utama yaitu perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan juga polusi," kata Program Manager Nature Climate Energy UNDP Iwan Kurniawan di acara penutupan Proyek ATSEA-2 di Jakarta, Jumat (27/12).

Proyek Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2) merupakan proyek kolaborasi antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI dan UNDP bersama dengan Timor-Leste, Papua Nugini, dan Australia.

Proyek itu ditujukan untuk mengatasi tantangan seperti penangkapan ikan berlebihan, degradasi habitat, polusi, kehilangan spesies, dan dampak perubahan iklim.

Terkait pentingnya kawasan ATS bagi pembangunan berkelanjutan, Iwan mengatakan kawasan ATS penting karena secara ekologis, wilayah ATS merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia, termasuk menjadi habitat bagi 600 lebih spesies karang pembentuk terumbu.

Kemudian, lebih dari 2.500 spesies ikan juga ada kawasan itu, di mana area tersebut mencakup ekosistem penting seperti hutan mangrove, padang lamun, dan juga terumbu karang yang mendukung berbagai spesies laut. Kawasan tersebut juga menyediakan ekosistem perlindungan bagi pantai dan juga penyerapan karbon.

Secara ekonomi, laut tersebut juga sangat penting bagi perikanan lokal dan regional, mendukung mata pencaharian dan ketahanan pangan bagi masyarakat di Indonesia, Timor Leste, Australia, dan Papua New Guinea.

Selain perikanan, wilayah ATS juga memiliki potensi untuk kegiatan ekonomi berbasis laut yang berkelanjutan sejalan dengan prinsip ekonomi biru.

Dengan mengutip hasil kajian proyek ATSEA-2, Iwan juga menunjukkan adanya nilai ekonomi tahunan yang diperkirakan mencapai 7,3 miliar dolar AS (sekitar Rp118,3 triliun) dari kawasan ATS tersebut.

"Jadi potensinya sangat besar, tapi mungkin kita masih perlu upaya-upaya inovasi agar nilai yang sebesar ini benar-benar bisa diwujudkan," kata Iwan.

Lebih lanjut, Iwan menyebutkan bahwa sektor perikanan dari kawasan tersebut memiliki nilai tahunan total sekitar 742 juta dolar AS (sekitar Rp12 triliun) dengan kontribusi terbesar dari Indonesia sebesar 581 juta dolar AS (sekitar Rp9,42 triliun), disusul Australia, Timor-Leste, dan juga Papua Nugini.

Untuk akuakultur, nilai yang dapat diperoleh dari kawasan ATS juga mencapai sekitar 640 juta dolar AS (sekitar Rp10,3 triliun) per tahun, di mana Indonesia menjadi penyumbang terbesar dengan 480 juta dolar AS (sekitar Rp7,78 triliun).

Dari sektor pariwisata, kawasan tersebut juga lebih lanjut memberikan nilai ekonomi sekitar 4,8 miliar dolar AS (sekitar Rp77,8 triliun).

Kemudian, untuk karbon biru, hutan mangrove dan padang lamun di wilayah ATS juga memainkan peran penting dalam penyerapan karbon, dengan nilai sampai 665 juta dolar AS (sekitar Rp20,7 triliun) per tahun.

Namun demikian, kekayaan dari wilayah ATS tersebut, kata Iwan, menghadapi beberapa tantangan, antara lain terkait dampak perubahan iklim, di mana wilayah itu rentan terhadap efek perubahan iklim, termasuk kenaikan suhu permukaan laut, peningkatan suhu laut, pengasaman laut yang mengancam ekosistem laut dan komunitas pesisir.

Polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati juga menjadi tantangan yang dihadapi kawasan tersebut.

Pewarta: Katriana
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2024

Read Entire Article
Rakyat news | | | |