Jakarta (ANTARA) - Selasa sore ini mereka berkumpul lagi: bukan untuk nostalgia, bukan pula untuk belajar. Hanya merayakan “rasa benar”, seolah keramaian bisa mengubah retorika jadi realita.
Di kota besar, manusia jarang benar-benar bertemu. Kita berpapasan, tetapi tidak saling menyapa; berbagi ruang yang sama, tetapi pikiran kita berkelana ke tempat lain.
Elevator yang penuh, jalanan yang macet, kafe yang ramai, semuanya terasa padat tetapi hampa, seperti akuarium raksasa berisi manusia yang bergerak tanpa interaksi bermakna.
Kemudian, kesendirian menjadi semacam bahasa baru yang dipahami para penghuni urban, tanpa perlu diajarkan.
Dalam ruang hidup yang semakin terfragmentasi itulah muncul fenomena menarik: reuni tanpa almamater. Sebuah ironi modern, reuni yang tidak membutuhkan masa lalu bersama, tidak menuntut foto klasikal di depan gedung sekolah, bahkan tidak membutuhkan cerita kenakalan remaja sebagai pengikat nostalgia. Hal yang dibutuhkan hanyalah rasa ingin berkumpul. Dan rupanya, itu sudah lebih dari cukup.
Kerumunan semacam ini tidak lahir dari kedekatan historis, melainkan dari kebutuhan emosional: keinginan manusia modern untuk merasakan kebersamaan, meski hanya lewat keramaian sesaat.
Kita mengikuti arus orang-orang yang tak kita kenal, berdiri di tengah gema pengeras suara, melihat lautan wajah asing—dan entah mengapa, justru di situ beberapa orang merasa “lebih hidup” daripada saat sendirian di apartemen yang sunyi.
Ada sesuatu yang sangat urban dari fenomena semacam ini. Kota menciptakan bentuk kebersamaan yang cair, bebas, nyaris tanpa identitas. Orang datang bukan untuk mengenang, melainkan untuk merasa hadir; untuk menambal kekosongan yang diproduksi oleh ritme kehidupan yang cepat dan hubungan yang rapuh.
Budaya baru pun muncul: tradisi berkumpul yang tak memerlukan alasan, yang tidak dibangun oleh sejarah, tetapi oleh atmosfer emosional yang serba instan.
Di kota ini, sebuah keramaian bisa hidup lama, bukan hanya oleh antusiasme pesertanya, tetapi juga oleh isyarat-isyarat halus dari pemerintah daerah. Kadang sebuah acara terasa seperti mendapat "lampu hijau"—fasilitas publik dibuka, ruang dikondisikan—menciptakan kesan bahwa ritual tanpa almamater ini mendapat tempat istimewa dalam kalender kota.
Fenomena ini bisa dipandang dengan kacamata sinis, bisa juga dianggap lucu, atau bahkan menyentuh, tergantung posisi kita melihatnya. Namun satu hal yang jelas: urbanitas selalu punya cara menciptakan kebiasaan yang absurd, tapi tetap bertahan.
Dan setelah dipikir-pikir, mungkin memang tidak ada yang lebih modern daripada keramaian yang lahir dari ketidakjelasan.
Polda Metro Jaya kerahkan 2.511 personel gabungan untuk mengawal kegiatan Reuni 212 di Monas Jakarta, Selasa (2/12/2025). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/rwa.Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































