Tetaplah palu MK itu nyaring

2 hours ago 3
Segala bentuk pengingkaran dan pembangkangan atas hukum, termasuk putusan MK, perlu dihindari

Jakarta (ANTARA) - Sejarah terukir. Tahun 2025 tercatat sebagai tahun terbanyak bagi Mahkamah Konstitusi (MK) menerima perkara pengujian undang-undang.

Sepanjang tahun ini, MK meregistrasi sebanyak 264 perkara uji materi maupun formil. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan tahun 2024 yang ada 189 perkara.

Pada tahun ini, MK menangani total 346 perkara, terdiri atas perkara yang diregistrasi pada tahun berjalan dan ditambah 82 perkara dari tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, Mahkamah telah memutus 263 perkara. Artinya, masih terdapat 83 perkara yang belum rampung dan akan diteruskan untuk tahun 2026.

Dari keseluruhan perkara yang telah diputus, MK mengabulkan tidak kurang dari 33 perkara, sementara 87 perkara lainnya ditolak, 96 perkara dinyatakan tidak dapat diterima, 42 perkara ditarik kembali oleh pemohon, serta lima perkara sisanya dinyatakan gugur.

Sejatinya, jumlah perkara yang diregistrasi MK menunjukkan tren peningkatan dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2021, MK meregistrasi sebanyak 71 perkara, meningkat pada tahun 2022 menjadi 121 perkara, dan bertambah lagi pada tahun 2023 menjadi 168 perkara. Peningkatan terus terjadi pada tahun 2024 hingga menyentuh angka 200-an pada 2025.

Tren peningkatan ini dapat dimaknai sebagai cerminan kepercayaan masyarakat terhadap MK. Warga negara memilih mengadu kepada Mahkamah, memohon agar persoalan konstitusionalitasnya diberikan titik terang. Pada tataran ini, MK tidak hanya menjadi penafsir terakhir konstitusi, tetapi juga menjadi rumah bagi siapa pun.

Putusan yang diucapkan MK dalam kurun waktu setahun terakhir pun bersentuhan langsung dengan berbagai sektor kehidupan. Dua hari setelah perayaan tahun baru, MK mengucapkan putusan pengujian Undang-Undang Pemilu yang amarnya menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

Sejak itu, Mahkamah sepanjang tahun ini tidak henti mengeluarkan tafsir atas anggapan kerugian hak warga negara. Putusan-putusan MK menjadi jawaban dari permasalahan konstitusional yang berkembang di masyarakat, mulai dari isu demokrasi, pendidikan, hingga polemik hak cipta.

Presidential threshold inkonstitusional

MK memutuskan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Dengan begitu, presidential threshold dinyatakan tidak sejalan dengan konstitusi sehingga tidak lagi berlaku.

MK dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 mengabulkan permohonan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.

Mahkamah memandang presidential threshold menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Padahal, risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menekankan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik.

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |