Tianjin (ANTARA) - Beberapa hari menjelang Festival Qingming atau Hari Bersih-Bersih Makam, festival tradisional yang dimanfaatkan oleh masyarakat China untuk berziarah ke makam, Zhang Ming (nama samaran) mendapati dirinya dapat berbincang lagi dengan mendiang kakeknya melalui avatar digital yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
"Apa kabarmu di sana, Kakek?" tanya Zhang.
Jawabannya terdengar dalam suara yang telah akrab di telinganya, "Aku baik-baik saja, bermain catur dan mengobrol dengan teman-teman lama. Pastikan kamu menjaga diri, ya."
Zhang, seorang warga Tianjin di China utara, menggunakan aplikasi bernama Lingyu (Pertemuan Spiritual) untuk membuat tiruan digital kakeknya dengan mengunggah foto, rekaman suara, dan beberapa informasi latar belakang. AI memproses data-data tersebut untuk menghasilkan avatar yang tampak nyata dan mampu melakukan percakapan suara, bahkan percakapan video, dalam dialek daerah.
"Rasanya seperti berbicara dengannya lagi," tutur Zhang. "Keluarga saya merasa terhibur karenanya."
Kemajuan terkini di bidang AI memungkinkan pengguna untuk dapat menciptakan kembali orang-orang terkasih yang telah meninggal dengan realisme yang mengejutkan. Beberapa platform membuat video-video pendek untuk mengenang sang mendiang, sementara ada juga platform yang menawarkan avatar interaktif yang mampu meniru pola bicara dan persona sang mendiang.
Tren ini menuai perhatian publik setelah sebuah acara variety show di China menampilkan seorang selebritas memanfaatkan AI untuk menyimulasikan percakapan dengan mendiang mertuanya, yang membuat sang istri berlinang air mata.
Acara itu secara gamblang menayangkan "penghidupan kembali secara digital" (digital resurrection), yang dulunya fiktif, kepada para penonton, dan membawa topik tersebut ke ranah publik. Topik ini menjadi kian relevan tahun ini dengan latar belakang perkembangan AI yang pesat.
Bagi banyak orang, rekreasi digital ini menawarkan pelipur lara bentuk baru. Platform-platform e-commerce di China kini memiliki pasar yang kian luas untuk layanan-layanan semacam itu, mulai dari replikasi suara dasar hingga "panggilan video" secara waktu nyata (real-time) dengan orang-orang yang sudah meninggal versi AI.
Gao Wei, pendiri Lingyu, mengatakan aplikasinya menggunakan AI canggih untuk menyimulasikan percakapan layaknya manusia dan pengenalan emosi. Meski baru diluncurkan dua bulan yang lalu, aplikasi Lingyu telah menarik hampir 10.000 pengguna, dengan ratusan pengguna mendaftar untuk mendapatkan layanan berbayar "Digital Life" yang ada di aplikasi tersebut.
"Seiring berkembangnya AI, interaksi emosional dengan AI generatif multimodal akan menjadi lebih mendalam," prediksi Gao.
Namun, penerapan AI ini tak lepas dari kontroversi. Di saat sebagian orang melihat teknologi ini sebagai alat pelipur lara, sebagian lainnya memperingatkan adanya potensi risiko.
"Jika orang-orang terjebak dalam kesedihan digital, hal itu dapat mendistorsi persepsi mereka terhadap hubungan di dunia nyata dan kesehatan emosional," kata Gui Mumei, seorang sosiolog di Akademi Ilmu Sosial Tianjin.
Pakar hukum juga memperingatkan tentang risiko privasi. Wang Bin, seorang profesor hukum di Universitas Nankai, menyampaikan bahwa "penghidupan kembali dengan AI" (AI resurrection) melibatkan data pribadi yang sensitif, yakni rincian biometrik, seperti suara dan gambar, serta biografi pribadi. Jika disalahgunakan, kerabat yang masih hidup dapat menghadapi pelanggaran privasi atau pencemaran nama baik.
Undang-undang China mengenai perlindungan data pribadi menetapkan bahwa warga negara dapat mengakses, menyalin, mengoreksi, dan menghapus data pribadi kerabat dekat mereka yang telah meninggal, asalkan tindakan tersebut dilakukan untuk alasan-alasan yang sah dan sesuai hukum.
Ada beberapa contoh di mana perusahaan atau individu melakukan "penghidupan kembali secara digital" selebritas yang telah meninggal demi kepentingan komersial, yang tidak hanya menyinggung tetapi juga kemungkinan bahkan melanggar hukum, tutur Wang.
Untuk mengatur konten yang dihasilkan AI, China telah meluncurkan serangkaian regulasi, seperti ketentuan tentang administrasi sintesis mendalam (deep synthesis) terhadap layanan-layanan informasi berbasis internet dan peraturan sementara tentang pengelolaan layanan AI generatif.
Mengingat industri terkait "AI resurrection" masih dalam tahap awal, pengawasan terhadap industri tersebut harus senantiasa direformasi guna menghindari risiko teknis dan etika.
"Tantangannya adalah memastikan bahwa teknologi ini melayani kebutuhan emosional orang-orang tanpa melanggar batasan etika," kata Lin Xiao, seorang peneliti AI di Shanghai Normal University.