Jakarta (ANTARA) - Pengobatan Tradisional China (Traditional Chinese Medicine/TCM) yang tersohor hingga penjuru dunia juga telah lama dikenal dan dipercaya masyarakat Indonesia. Meski demikian, Indonesia pun nyatanya memiliki pengobatan tradisional yang juga berakar di Nusantara sejak ratusan tahun lalu.
Sama-sama menjadi buah peradaban, lantas apakah TCM dan pengobatan tradisional di Nusantara pada praktiknya saling berkaitan? Xinhua berbincang dengan praktisi TCM sekaligus pengobatan tradisional Jawa, Arief Aditama, yang akrab dipanggil Suhu Tomy. Pria yang identik dengan blangkon tersebut mendedikasikan hidupnya untuk menelisik lebih lanjut tentang kaitan keduanya.
"Saya percaya akulturasi sudah terjadi lama sekali, ratusan tahun lalu, karena bangsa China telah berinteraksi dengan kita di Nusantara, contohnya dahulu ketika zaman Sriwijaya atau Cheng Ho di Semarang, tentu mereka singgah tak hanya sehari dua hari, namun hingga berbulan-bulan sehingga akulturasi terjadi secara natural, mulai dari budaya, perkawinan hingga termasuk pengobatan," ujar Tomy ketika dihubungi Xinhua pada Senin (21/7).
Tomy, yang resmi membuka klinik kedokteran Timur sejak 2009 silam, menggarisbawahi alasan sederhana mengapa TCM mendapatkan tempat di hati masyarakat Nusantara, baik masa lalu maupun masa kini.
"Ada banyak persamaan dari TCM dan pengobatan tradisional kita. Persamaannya yang paling jelas (adalah) bahwa keduanya sama-sama percaya dengan sesuatu yang tidak terlihat atau energi, sama-sama memperhatikan pikiran dan emosi. Di Jawa ada istilah Doyo, sementara TCM ada Qi (Chi), yang akan memengaruhi kesehatan kita secara holistik," ujar pria berusia 47 tahun tersebut.
Menurutnya, inilah yang membedakan keduanya dengan pengobatan modern Barat yang bersifat materialistis atau hanya berfokus pada apa yang bisa terlihat, sehingga pendekatannya bersifat parsial.
Lebih lanjut, Tomy menjelaskan bahwa meski tentu memiliki perbedaan, bahan herbal yang digunakan baik dalam TCM maupun pengobatan tradisional di Jawa memiliki banyak kesamaan. Hal ini seolah membuktikan kekayaan kaidah pengobatan keduanya yang komplementer, karena mampu digarap meski rumusannya berbeda dan menyesuaikan dengan kondisi masing-masing.
"Karena iklim dan kondisi geografisnya beda, maka sebaran tanamannya tentu beda. Kumis kucing, daun salam tidak ada di China, sementara kunyit dan jahe, itu sama-sama ada di Indonesia maupun China. Kita iklimnya tropis jadi herbal pun menyesuaikan kebutuhan kita, sementara di China juga pasti diciptakan sesuai kebutuhan mereka," tutur Tomy.
Saling Melengkapi
Pada praktiknya, akulturasi pengobatan di masyarakat terjadi dan menjelma menjadi budaya baru justru melalui penetrasi hal yang sederhana dan bersifat keseharian.
"Banyak yang memahami jika kerokan itu budaya kita, padahal itu dari China, namanya gua sha. Kita mengenalnya di sini pakai koin maka itu jadi budaya baru, tetapi di China awalnya mungkin pakai batu giok atau yang lain," ujar Tomy yang berlatar belakang pendidikan kedokteran gigi dari Universitas Gadjah Mada tersebut.
Dari hal yang sederhana hingga tataran yang lebih tinggi, kedua budaya yang terpisah samudra tersebut nyatanya juga cukup mirip dari segi filosofi.
"Meditasi, yang populer asal China pun sebenarnya ada juga pada kultur tradisional kita, namanya patrap, semedi atau tapa. Mungkin saja itu karena pengaruh dari ajaran Hindu, Buddha, dan lain-lain yang dahulu memang dianut mayoritas masyarakat kita di masa lalu, dan juga di China." ujarnya.
Meski terdapat banyak persamaan, namun Tomy mengakui bahwa keduanya juga memiliki perbedaan mencolok yang berkaitan erat dengan akar budaya masing-masing dan setempat.
Kultur berbeda tentu memiliki pendekatan yang berbeda. Kaidah Jawa yang memang telah berakar hingga ratusan tahun lalu tersebut kuat dibumbui hal mistik atau berbasis insting, sehingga kadang sulit dijabarkan dari sisi ilmiah modern.
"Dukun Jawa di masa lalu sangat mungkin mengobati pasien berdasarkan intuisi yang didapat dari olah batin, namun tidak dapat dijelaskan kaidahnya secara struktural, kita menyebutnya ilmu titen," ujar Tomy.
Kultur Jawa mengadopsi komunikasi batin antara subjek dan objek, sehingga mantra dan doa menjadi kesatuan dalam proses pengobatan Jawa, hal ini kurang menjadi fokus utama di TCM, jelasnya.
Tomy pun mencontohkan kearifan lokal yang selama ini sudah banyak dikenal masyarakat Indonesia. "Di kita ada penyakit yang namanya kualat, ini khas di budaya kita, dan jika seseorang kualat maka energinya akan melemah sehingga lebih mudah terserang penyakit."
TCM sebaliknya, konsepnya sangat baku seperti Yin Yang dan Wuxing (lima elemen), membuat praktik pengobatannya lebih jelas, terlebih karena telah terdokumentasi dengan baik selama ribuan tahun.
Metode Baru
Lantas, meski terdapat persamaan dan perbedaan, bagaimana kedua pendekatan tersebut berinteraksi dan berakulturasi dalam metode pengobatan seiring zaman?
Menurut Tomy, kedua hal itu bukan untuk dipertentangkan meski berasal dari kultur yang berbeda. Menurutnya, Jawa memiliki kultur yang lebih dalam lewat meditasi dan kesadaran menyeluruh, tetapi sumber literasinya dirasa kurang. Sementara itu, TCM dengan tak terbantahkan mampu menyajikan referensi yang telah berakar selama ribuan tahun.
"Kekuatan TCM adalah melengkapi, lewat detail dan eksperimen yang telah berlangsung hingga ribuan tahun. Positifnya, budaya kita sangat open terhadap hal luar, sehingga pada praktiknya dokumentasi TCM justru menjadi referensi yang mempermudah dan memperkaya metode pengobatan tradisional kita," tutur Tomy, yang kini memiliki klien dari 20 negara tersebut.
Tomy mencontohkan referensi TCM terkait jalur meridian pada tubuh justru mempermudah terapi pijat tradisional kita, yang fokus utamanya sebenarnya menyasar relaksasi untuk membantu mempercepat penyembuhan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kang Haris (43), praktisi pengobatan tradisional lainnya di Purwakarta, Jawa Barat. Pria spesialis pengobatan stroke yang viral setelah menormalkan kadar gula darah selebritas Panji Petualang tersebut berharap pemerintah dapat lebih berani lagi dan serius untuk mengangkat peran pengobatan tradisional Indonesia.
Ketika disinggung tentang kiprah TCM yang telah terbukti mampu bertahan dan "berbicara" di kancah global, Tomy punya pendapatnya sendiri.
"Budaya kita itu budaya tutur yang tentu memiliki kelemahan sendiri, ini berbeda dengan China yang memang memiliki peradaban tinggi sejak masa lampau sehingga proses dokumentasi telah tertata dengan baik, terutama lewat pencatatan. Penjajahan pun melemahkan kita karena sumber-sumber sejarah dijarah ke Eropa sehingga kita kehilangan referensi."
TCM dan pengobatan tradisional kita pada praktiknya tidaklah kontradiktif dan justru saling melengkapi, karena itu sudah berbaur dan dilakukan sejak ratusan tahun lalu.
Bahkan terhadap ilmu kedokteran modern yang dominan dari Barat pun, Tomy percaya jika keduanya bisa berjalan beriringan. "Pendekatannya kuantitatif dan kualitatif, variabelnya beda, mungkin tidak bisa dilebur, tetapi bisa berjalan beriringan. Contohnya, kita sering (menjalani) cek lab untuk mengetahui data kondisi tubuh secara ilmiah, namun pengobatannya pun selanjutnya bisa dilakukan dengan pengobatan tradisional."
Ketika disinggung perihal masa depan pengobatan tradisional di tanah air, Tomy berharap jika para praktisi pengobatan di Nusantara harus bersikap terbuka dalam melengkapi dan terus menyempurnakan, seperti yang menjadi kunci sukses TCM yang terstruktur.
Di sisi lain, peran pemerintah diharapkan mampu mengangkat pengobatan tradisional, seperti halnya yang sudah dipraktikkan di China di mana TCM dan pengobatan modern mampu berjalan beriringan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kang Haris (43), praktisi pengobatan tradisional lainnya di Purwakarta, Jawa Barat. Pria spesialis pengobatan stroke yang viral setelah menormalkan kadar gula darah selebritas Panji Petualang tersebut berharap pemerintah dapat lebih berani lagi dan serius untuk mengangkat peran pengobatan tradisional Indonesia
"Pengobatan tradisional kita harusnya sudah sampai pada level internasional juga, tidak kalah dengan TCM di China yang sudah (berskala) global. Jika mereka bisa, maka seharusnya kita bisa juga."
Kang Haris bahkan optimistis jika pengobatan tradisional Indonesia "berani diadu" dengan pendekatan modern ala Barat. "Intinya adalah pada peran pemerintah untuk segera menjadikannya aset bangsa, ini kekayaan kita yang belum digarap maksimal, padahal ibarat harta karun di depan mata," tegasnya kepada Xinhua.
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.