Tata kelola NU abad kedua, dari gegeran ke ger-ger-an

5 days ago 11
... konflik bukan tanda kelemahan, tetapi indikator bahwa gagasan tentang masa depan NU sedang bergerak, diperdebatkan, dan disempurnakan.

Surabaya (ANTARA) - Ketegangan antara Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah Nahdlatul Ulama (NU) yang mencuat ke ruang publik, beberapa waktu terakhir ini, mengundang perhatian nasional. Banyak kalangan membaca peristiwa ini sebagai benturan kepentingan, perebutan pengaruh, atau persaingan politik internal.

Melihat situasi ini sebatas perselisihan personal antarelit, justru mengabaikan dinamika historis organisasi dan konteks transformasi besar yang sedang dihadapi NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia.

Konflik tersebut bukanlah kejutan, apalagi anomali. NU memiliki sejarah panjang ketegangan di level elit, tapi selalu menemukan jalan pulih, sekaligus sarana bertumbuh dari dalamnya.

Pada era KH Idham Chalid, misalnya, "perselisihan" antara otoritas syuriah dan tanfidziyah pernah mengguncang NU, hingga memengaruhi diferensiasi peran kelembagaan.

Di masa yang berbeda, publik juga menyaksikan "perdebatan" keras antara KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan KH Asad Syamsul Arifin, yang berakar pada perbedaan strategi menghadapi tantangan eksternal dan internal organisasi.

Konflik-konflik tersebut tidak mengakhiri NU. Sebaliknya, ia menjadi sarana organisasi melakukan koreksi struktural maupun kultural, memperjelas mandat kelembagaan, dan membentuk orientasi baru.

Karena itu, konflik antara Rais Aam dan Ketua Umum PBNU, hari ini, lebih tepat dibaca dalam kacamata sosiologi organisasi, yaitu sebagai dinamika yang lazim dan bahkan produktif dalam proses pendewasaan institusi, terutama ketika NU memasuki abad keduanya, dengan agenda besar pembaruan tata kelola dan perluasan peran sosial.


Perebutan tafsir

Pandangan Michel Foucault, filusuf dan sejarawan asal Prancis, memberikan lensa penting untuk membaca dinamika kali ini. Bagi Foucault, kekuasaan bukan semata perebutan posisi, melainkan pertarungan untuk mengendalikan wacana, tentang siapa yang berhak menentukan apa yang benar dan apa yang tepat.

Di tubuh NU, pertarungan ini tampak bukan hanya dalam keputusan formal, tetapi juga dalam narasi tentang siapa yang lebih otoritatif menafsirkan arah perjalanan jam'iyah, apakah penjaga khittah dan otoritas keulamaan, atau pelaksana kebijakan organisasi dan agenda sosial-struktural.

Baca juga: Forum Sesepuh NU dorong islah selesaikan konflik di jajaran PBNU

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |