Jakarta (ANTARA) - Hasil survei yang dilakukan oleh lembaga riset Maarif Institute menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia merasa bangga dirinya menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).
"Mayoritas masyarakat Indonesia bangga sebagai warga negara, meskipun terdapat variasi berdasarkan usia, pendidikan, pekerjaan," kata Peneliti Maarif Institute Yahya Fathurrozi dalam kegiatan diseminasi hasil survei nasional di Jakarta, Kamis.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada 10-23 Desember 2024 kepada 1.221 responden dengan demografi masyarakat berusia di atas 17 tahun, Yahya memaparkan sebanyak 56,6 persen responden menyatakan perasaan “Sangat Bangga”, disusul oleh 40,2 persen yang menjawab “Bangga”, sehingga total persentase responden yang merasa bangga mencapai lebih dari 96 persen.
Ia melanjutkan, hanya sebagian kecil, yakni 2,1 persen, mengaku kurang bangga atau tidak bangga sama sekali, sementara 1,2 persen lainnya memilih untuk tidak memberikan jawaban atau menyatakan ketidaktahuan.
"Tingginya persentase kebanggaan ini mencerminkan tingkat nasionalisme yang solid di kalangan masyarakat, menunjukkan bahwa identitas sebagai bangsa Indonesia tetap menjadi nilai yang dijunjung tinggi dan dihormati secara luas," ujarnya.
Baca juga: Survei UI tunjukkan anak muda berpotensi jaga semangat nasionalisme
Yahya memaparkan hampir semua kelompok etnis menunjukkan tingkat kebanggaan di atas 95 persen, dengan pengecualian etnis Minang (93,9 persen) yang memiliki persentase “tidak tahu/tidak jawab” relatif tinggi (6,1 persen).
"Etnis Batak dan Madura mencatat kebanggaan 100 persen, mencerminkan keterikatan kuat dengan nilai-nilai kolektif atau kebanggaan kultural yang selaras dengan identitas nasional," lanjutnya.
Dari sisi agama, Yahya memaparkan responden Muslim dan non-Muslim sama-sama menunjukkan kebanggaan tinggi (96,6 dan 97,3 persen), meskipun kelompok non-Muslim memiliki persentase “tidak bangga” lebih rendah (0,3 persen) dibandingkan Muslim (2,3 persen).
Ia menilai hal ini menunjukkan adanya potensi kompleksitas hubungan antara identitas agama dan nasionalisme.
Selanjutnya, jelas Yahya, latar belakang pendidikan pesantren menunjukkan pola unik. Responden dengan orang tua berlatar belakang pesantren modern atau gabungan tradisional-modern memiliki persentase kebanggaan lebih rendah (90,5 dan 86,7 persen) dan persentase “tidak bangga” lebih tinggi (9,5 dan 10,1 persen). Tren serupa terlihat pada latar belakang pribadi: alumni pesantren modern memiliki kebanggaan 90,8 persen.
"Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memiliki rasa bangga terhadap kewarganegaraan mereka, meskipun terdapat beberapa variasi berdasarkan faktor usia, latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan wilayah tempat tinggal," tuturnya.
Baca juga: Ketua MPR: Kurangnya nasionalisme generasi muda menjadi 'bom waktu'
Menurut Yahya, tingginya angka kebanggaan ini mencerminkan bahwa nasionalisme masih menjadi bagian penting dari identitas kolektif masyarakat. Namun, jika ditelaah lebih dalam, terdapat perbedaan kecil yang menunjukkan bahwa faktor sosial dan lingkungan mempengaruhi seberapa besar seseorang merasakan kebanggaan sebagai Warga Negara Indonesia.
Dengan strategi yang tepat, Yahya menilai kebanggaan nasional dapat terus dipertahankan dan diperkuat di tengah dinamika sosial yang semakin kompleks.
Upaya untuk menjaga kebanggaan ini tidak hanya penting untuk menjaga persatuan bangsa, tetapi juga sebagai modal sosial yang dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan negara ke depan.
Baca juga: Survei: hanya 31,4 persen publik puas atas reformasi
Baca juga: Menteri PPPA ingatkan orang tua tanamkan nasionalisme pada anak
Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2025