SP Mataram prihatin atas pernikahan anak 15 tahun di Lombok Tengah

3 months ago 11

Mataram (ANTARA) - Aktivis dari Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Mataram mengungkapkan rasa prihatin atas adanya pernikahan anak perempuan usia 15 tahun di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

"Di tengah gempuran arus informasi dan kampanye perlindungan hak anak, kenyataan ini menjadi tamparan keras bagi bangsa yang masih gagal melindungi masa depan generasi mudanya, terutama perempuan," kata Siri Nurhidayati, Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Mataram melalui keterangan tertulis yang diterima di Mataram, Selasa.

Jika dilihat dari perspektif feminis, kata dia, praktik perkawinan anak bukan sekadar masalah adat atau ekonomi. Melainkan, ini adalah bentuk kekerasan struktural yang mengakar, melegitimasi ketimpangan kuasa antara laki-laki dan perempuan sejak usia dini.

"Hanya karena dalih mempertahankan adat, anak perempuan dipaksa menikah hingga ia kehilangan haknya atas pendidikan, kesehatan, dan kebebasan tubuh. Ia tidak hanya direnggut masa kecilnya, tetapi juga dijebak dalam lingkaran patriarki yang membatasi pilihan hidupnya," ucap dia.

Dia melihat bahwa munculnya persoalan ini sebagai cerminan dari kegagalan negara dalam menegakkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

"Undang-undang perkawinan terbaru yang sudah menaikkan batas usia minimum menikah menjadi 19 tahun itu jadi tidak berarti tanpa perubahan budaya dan keberpihakan nyata kepada anak perempuan," ujarnya.

Oleh karena itu, Siti menyatakan bahwa pihaknya menolak normalisasi terhadap praktik ini. Dia berharap kepada aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, dan pemangku kepentingan untuk tidak lagi berdiam diri.

"Tidak ada alasan budaya, adat, agama, atau ekonomi yang dapat membenarkan perampasan masa depan seorang anak," katanya.

Pada momentum ini, SP Mataram menyerukan perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan gender. Dia menegaskan bahwa perlindungan anak perempuan adalah tanggung jawab kolektif.

"Tradisi seharusnya tidak membunuh masa depan. Dalam nama keadilan, kami berdiri menolak kekerasan yang dikemas sebagai kearifan lokal," ucap dia.

Baca juga: Pernikahan dini berisiko memicu gangguan kesehatan mental

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |