Pontianak (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat harus memutar otak mengatur strategi guna meningkatkan capaian vaksinasi anak di wilayah setempat agar terhindari dari wabah penyakit di masa depan yang mengancam generasi emas 2045.
Data Dinas Kesehatan Kalimantan Barat menunjukkan cakupan Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) yang pernah mencapai 81,3 persen pada 2022 turun menjadi 74,9 persen pada 2023, dan anjlok ke angka 42,7 persen pada 2024. Hingga pertengahan 2025, cakupan imunisasi bayi hanya mencapai 5,98 persen, usia di bawah dua tahun sebesar 4,43 persen dan cakupan vaksin DPT1 baru menyentuh 11,38 persen.
Kemudian tercatat ada 13 ribu lebih balita di Kalbar belum pernah menerima imunisasi sama sekali. Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya, dua wilayah dengan populasi anak tertinggi di Kalbar, menjadi cerminan nyata dari krisis ini.
Di Pontianak, capaian IDL turun dari 70,6 persen pada 2023 menjadi 20,5 persen pada 2025. Sementara di Kubu Raya, capaian anjlok dari 68,4 persen menjadi hanya 13 persen pada tahun ini.
Kondisi tersebut diduga telah memicu kemunculan kembali penyakit-penyakit yang sebelumnya bisa ditekan, seperti 20 kasus campak terkonfirmasi, dua kasus rubella, dan laporan terduga difteri serta pertusis.
Cerminan rendahnya angka imunisasi di Kalbar dapat dilihat dari suasana suatu pagi di Posyandu Kenanga, Gang Maluku, Kecamatan Pontianak Utara belum lama ini.
Meja pencatatan di posyandu tertata rapi, alat timbang balita tersedia, tetapi hanya tampak segelintir ibu yang datang membawa anak mereka. Posyandu mencatat, pada tahun ini baru 51 balita tercatat aktif mengikuti imunisasi dasar lengkap. Angka ini jauh lebih rendah dibanding dua tahun sebelumnya yang mencapai 87 anak.
Di balik meja pencatatan, Farida, kader Posyandu Kenanga yang telah mengabdi lebih dari satu dekade, tetap menyapa setiap ibu dengan senyum ramah. Namun nada suaranya tidak dapat menyembunyikan kegundahan. Ia menyebut masih banyak yang percaya bahwa imunisasi bikin anak sakit. Ada juga yang bilang vaksin itu haram, padahal MUI sudah mengeluarkan fatwa halalnya.
Penurunan minat imunisasi ini tidak hanya disebabkan oleh hoaks yang menyebar luas di media sosial. Lebih dari itu, budaya patriarki, trauma ringan pascaimunisasi, hingga keputusan rumah tangga juga menjadi hambatan tersendiri. Farida mengatakan ada ibu-ibu yang harus datang diam-diam karena tidak diizinkan suami atau orang tuanya.
Hal itu dibenarkan oleh Rita, seorang warga yang tinggal tak jauh dari Posyandu Kamboja. Anaknya yang kini berusia empat tahun hanya sempat mendapat imunisasi Hepatitis B saat lahir. Setelah itu, tidak pernah lagi. Saat imunisasi pertama, anaknya demam dan rewel, suaminya langsung melarang anaknya dibawa lagi ke posyandu.
Suaminya berujar, banyak juga yang tidak imunisasi tetapi anak sehat-sehat saja.
Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.