Mataram (ANTARA) - Sore itu, langit Wera tampak kelabu. Jalan utama yang biasanya ramai oleh lalu-lalang warga, tiba-tiba diblokade kayu dan batu. Puluhan orang turun ke jalan, wajah mereka penuh letih dan kecewa. Sawah yang terendam banjir berubah menjadi hamparan lumpur, rumah-rumah rusak, dan saluran irigasi yang jebol tak kunjung diperbaiki.
Di balik aksi itu, tersimpan rasa frustrasi yang menumpuk. Warga sudah berkali-kali berharap ada bantuan, tetapi yang datang hanya janji. Dam yang rusak tetap terbengkalai, lahan pertanian tak bisa lagi ditanami, dan hari-hari mereka dilalui dengan keresahan. Bagaimana melanjutkan hidup ketika sumber penghidupan menghilang begitu saja?
Wera hanyalah satu sudut kecil dari Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun kisahnya merepresentasikan keresahan lebih luas. Di tengah banjir dan bencana, warga mempertanyakan ke mana larinya dana belanja tidak terduga (BTT) pemerintah provinsi yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah.
Peristiwa di Wera hanyalah potret kecil dari persoalan besar, yakni akuntabilitas BTT dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2025.
APBD-P 2025 mencatat alokasi BTT sebesar Rp500 miliar. Angka fantastis yang seharusnya menjadi tameng finansial bagi provinsi, ketika bencana melanda atau krisis sosial-ekonomi terjadi. Namun, catatan DPRD menunjukkan BTT sudah terpakai Rp484 miliar lebih, menyisakan hanya Rp16 miliar.
Hal yang lebih mengkhawatirkan, bukan sekadar tipisnya sisa dana, melainkan kabut yang menyelimuti penggunaannya. Laporan rinci tidak pernah benar-benar dipaparkan secara jelas kepada publik. Pergeseran anggaran melalui Peraturan Gubernur (Pergub), bahkan dilakukan dua kali--Rp130 miliar dan Rp210 miliar--tanpa penjelasan detail. Transparansi yang minim ini menimbulkan keraguan. Apakah BTT benar-benar dipakai sesuai mandatnya, ataukah sekadar menjadi pos dana fleksibel pemerintah provinsi?
Bima-Dompu
Dari sisa Rp16 miliar, Pemprov NTB hanya mengalokasikan Rp3,65 miliar untuk penanganan darurat di Bima dan Dompu. Rinciannya, Dompu mendapat Rp296 juta lebih, sedangkan Bima sekitar Rp3,35 miliar untuk delapan paket pekerjaan jalan.
Jika dibandingkan dengan kerusakan akibat banjir, angka itu bagai setetes air di lautan. Sawah ribuan hektare terendam, jaringan irigasi rusak parah, dan rumah-rumah warga porak-poranda. Tidak heran jika anggota DPRD NTB Muhammad Aminurlah melontarkan pernyataan pedas, “Bagaimana sawah bisa ditanami kalau irigasi rusak?”
Pernyataan itu menggema sebagai cermin dari kegelisahan rakyat. Bencana yang seharusnya menjadi prioritas justru hanya diberi alokasi seadanya.
Secara regulasi, BTT bersifat khusus dan hanya boleh digunakan untuk keadaan mendesak, tak terduga, dan berdampak signifikan. Namun, praktiknya di NTB seringkali bergeser. Pergeseran Rp340 miliar melalui pergub tanpa laporan rinci memperkuat kesan bahwa BTT lebih mirip “dana fleksibel” daripada “belanja darurat”.
Kritik makin tajam ketika DPRD menyoroti rencana penyertaan modal Rp8 miliar untuk BUMD PT Gerbang NTB Emas (GNE). Perusahaan daerah yang tengah terjerat utang dan kerugian itu justru akan mendapat suntikan modal dari pos yang semestinya dipakai untuk rakyat dalam kondisi krisis.
Logika publik sederhana. BTT untuk rakyat yang terdampak bencana, bukan untuk menolong perusahaan sakit.
Minimnya transparansi bukan sekadar masalah administratif, tapi juga membuka ruang persoalan hukum. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berulang kali menekankan pentingnya pencatatan yang akuntabel untuk BTT. Tanpa itu, dana darurat berisiko menjadi “lubang hitam” APBD, uang keluar, tetapi manfaatnya sulit dilacak.
Sejarah di berbagai daerah menunjukkan, penyalahgunaan BTT sering berujung pada kasus hukum. Karena sifatnya yang mendesak, BTT rawan dipakai tanpa prosedur ketat, dan di situlah pintu penyimpangan terbuka lebar.
Ada contoh baik yang bisa dijadikan cermin. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mewajibkan laporan realisasi BTT dipublikasikan secara berkala di situs resmi, lengkap dengan lokasi proyek dan penerima manfaat. Aceh, bahkan membuat mekanisme audit cepat untuk setiap penggunaan BTT di atas Rp1 miliar.
Kedua praktik ini menunjukkan bahwa dana darurat bisa dikelola dengan disiplin dan transparan, tanpa mengurangi fleksibilitasnya.
Jalan tengah
Apa yang bisa dilakukan NTB? Pertama, membuka laporan penggunaan BTT ke publik secara rutin. Setiap rupiah harus bisa dilacak untuk digunakan apa, di mana, dan siapa yang melaksanakannya. Publikasi secara daring bisa menjadi sarana kontrol sosial, sekaligus bukti komitmen akuntabilitas.
Kedua, memperkuat mitigasi bencana. BTT memang darurat, tetapi perencanaan yang matang dapat mengurangi kebutuhan dana darurat. Perbaikan irigasi, tanggul, atau kanal harus diprioritaskan jauh hari, bukan setelah banjir melanda.
Ketiga, mempertegas batas penggunaan BTT. Pos ini sebaiknya hanya untuk kondisi krisis publik, bukan untuk penyertaan modal BUMD atau proyek non-darurat.
Pada akhirnya, BTT bukan hanya baris dalam tabel APBD. Ia adalah janji kehadiran negara saat rakyat berada dalam titik paling rapuh.
Warga Wera yang memblokade jalan bukan sekadar marah karena sawahnya rusak. Mereka kecewa karena merasa ditinggalkan, padahal pemerintah memiliki dana cadangan yang semestinya hadir untuk mereka.
APBD-P NTB 2025 memang sudah disahkan, tetapi pekerjaan sesungguhnya baru dimulai. Setiap rupiah dari BTT harus menjelma menjadi jembatan darurat, irigasi yang kembali mengalir, atau rumah yang bisa ditempati lagi.
Transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan adalah roh yang harus menjiwai pengelolaan BTT. Tanpa itu, pos ini hanya akan menjadi “belanja tak terduga” yang tak terjelaskan.
Pertanyaan yang layak diajukan, apakah NTB siap menjadikan BTT sebagai instrumen nyata untuk menjawab jeritan rakyat saat bencana, atau membiarkannya tetap menjadi kotak hitam yang hanya diketahui segelintir orang?
Jawabannya akan menentukan apakah kepercayaan publik terjaga, atau kembali runtuh, seperti tanggul yang jebol di Wera.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
