Jakarta (ANTARA) - Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede mengatakan, penguatan nilai tukar (kurs) berasal dari faktor pengumuman pemerintah yang akan memindahkan sekitar Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mendorong penyaluran kredit.
Penguatan ini terjadi meskipun mayoritas mata uang Asia melemah terhadap dolar menjelang rilis data inflasi (Consumer Price Index/CPI) Amerika Serikat (AS) .
“Ini memberi sinyal positif pada likuiditas domestik,” katanya kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Baru-baru ini, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyebut Presiden Prabowo Subianto menyetujui rencananya menarik dana mengendap di BI sebesar Rp200 triliun dari total simpanan pemerintah sebesar Rp425 triliun untuk disalurkan ke perbankan.
Baca juga: Prabowo setuju rencana Menkeu tarik dana mengendap Rp200 triliun di BI
Purbaya menilai faktor utama yang menghambat pertumbuhan ekonomi adalah lambatnya penyaluran belanja pemerintah yang membuat sistem keuangan menjadi kering.
Karena itu, kebijakan pemerintah tersebut bertujuan untuk menggerakkan perekonomian, sehingga tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dapat segera tercapai.
Dana yang disebut oleh Purbaya itu merujuk kepada Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SiLPA) sebesar Rp425 triliun, yang saat ini disimpan di BI sebagai rekening pemerintah.
Faktor lain penguatan kurs rupiah berasal dari pergerakan global yang masih terbatas karena investor menunggu data inflasi Amerika Serikat (AS), sehingga tekanan eksternal relatif tertahan.
Baca juga: Ketum Hipmi dorong dana Rp200 triliun dialirkan ke sektor produktif
Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan Kamis sore menguat sebesar 8 poin atau 0,05 persen menjadi Rp16.462 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.470 per dolar AS.
Adapun Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada hari ini justru melemah ke level Rp16.468 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.457 per dolar AS.
Pada Jumat (12/9), nilai tukar rupiah disebut akan banyak dipengaruhi rilis data inflasi AS, khususnya Core CPI yang diperkirakan naik 0,3 persen month to month.
Apabila hasil Core CPI sesuai atau lebih rendah dari ekspektasi, lanjut Josua, pasar akan melihat peluang pemangkasan suku bunga The Fed tetap terbuka. Dengan begitu, dolar AS bisa melemah dan memberi ruang bagi penguatan rupiah.
Namun, jika inflasi lebih tinggi dari perkiraan, maka dolar berpotensi menguat kembali dan bakal menekan rupiah.
Baca juga: Rupiah menguat seiring data inflasi AS lebih rendah dari ekspektasi
Meninjau sentimen dari dalam negeri untuk rupiah pada Jumat (12/9), dia menilai fokus pasar masih pada implementasi kebijakan penempatan dana pemerintah ke perbankan, yang akan berpengaruh pada persepsi investor terkait stabilitas fiskal dan efektivitas stimulus.
“Dengan mempertimbangkan faktor global dan domestik, rupiah berpotensi bergerak fluktuatif. Bila inflasi AS sesuai perkiraan, rupiah relatif stabil dengan kecenderungan menguat tipis. Namun bila inflasi lebih tinggi, rupiah bisa kembali tertekan,” ujar dia.
Untuk perdagangan besok, rupiah diproyeksikan berada di kisaran Rp16.420–Rp16.500 per dolar AS dengan kecenderungan stabil di tengah kehati-hatian pasar menunggu kepastian arah kebijakan The Fed.
Baca juga: Rupiah pada Kamis pagi menguat jadi Rp16.451 per dolar AS
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.