Jakarta (ANTARA) - Indonesia memantapkan langkah menuju kedaulatan pangan, khususnya beras, lewat penguatan sektor hulu-hilir pertanian, membangkitkan kejayaan swasembada 1984, ketika produksi nasional mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, tanpa ketergantungan impor.
Swasembada pangan menjadi bagian penting dari Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang menempatkan ketahanan pangan sebagai fondasi kemandirian bangsa. Fokus diarahkan pada peningkatan produksi, perlindungan petani, serta keberlanjutan sistem pertanian nasional.
Dalam strategi tersebut, pupuk menempati posisi krusial sebagai penentu produktivitas sawah. Pemerintah memandang kelancaran pupuk bukan sekadar soal distribusi, melainkan instrumen kebijakan untuk menjaga stabilitas produksi dan pendapatan petani.
Pada 2025 alokasi pupuk subsidi ditetapkan sekitar 9,55 juta ton, mencakup pupuk urea, NPK, dan jenis lainnya. Alokasi ini menjadi bantalan penting bagi petani di tengah fluktuasi biaya produksi dan dinamika iklim yang memengaruhi musim tanam.
Selain volume, perbaikan juga dilakukan pada sistem penebusan. Prosedur dipangkas agar lebih sederhana, cukup menggunakan identitas kependudukan dan verifikasi digital di kios resmi, sehingga pupuk dapat ditebus tepat waktu, sesuai kebutuhan tanaman.
Dampaknya langsung terasa di lapangan. Pupuk yang tersedia, sebelum jadwal pemupukan memungkinkan petani mengatur tanam lebih presisi, menjaga kesuburan tanah, dan meningkatkan potensi hasil panen secara berkelanjutan.
Cepat dan mudah
Sore hari di lorong Desa Ciawi, Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon, sejumlah petani, satu per satu tiba di kios resmi pupuk, mengendarai sepeda motor yang menjadi andalan mobilitas mereka sehari-hari.
Kedatangan itu bukan sekadar rutinitas, melainkan untuk menebus pupuk subsidi yang dibutuhkan menghadapi musim tanam, satu kebutuhan penting yang kini bisa diakses lebih mudah dan pasti.
Usai transaksi, karung-karung pupuk diangkat dan disusun di jok motor, diikat rapi agar aman dibawa melewati jalan desa yang sempit dan berliku.
Dengan motor sederhana, para petani itu pun berpencar menuju rumah masing-masing, membawa pupuk, sekaligus harapan akan panen yang lebih baik di setiap musim tanam.
Seorang petani melakukan panen di Desa Tegalkarang, Kecamatan Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, Selasa (5/8/2025). ANTARA/HariantoDi antara mereka ada Yoyon (51), petani asal Desa Cengkuang, Kecamatan Palimanan, yang sore itu menyiapkan pupuk subsidi untuk lahan garapannya seluas 0,7 hektare.
Sebagai Ketua Kelompok Tani Sri Rahayu, Yoyon terbiasa mengatur pola tanam, menanam padi pada musim tanam pertama dan kedua, lalu menutup musim tanam ketiga dengan kacang hijau.
Yoyon masih mengingat masa, ketika pupuk subsidi sulit diperoleh, memaksanya membeli pupuk non-subsidi, dengan harga sekitar Rp1,2 juta per kuintal.
Biaya setinggi itu membuat ongkos produksi melonjak dan sering kali menggerus keuntungan yang seharusnya dinikmati petani.
Kini, kondisinya berubah, pupuk subsidi dapat ditebus dengan mudah, cukup menggunakan KTP dan tanda tangan digital, tanpa antre panjang atau prosedur berbelit.
Yoyon, terakhir menebus pupuk subsidi, seperti NPK seharga Rp230.000 per kilogram, sangat berbeda dibandingkan pupuk non-subsidi yang mahal.
Untuk kebutuhan sawahnya, Yoyon membeli dua kuintal NPK dengan total Rp460.000, ditambah pupuk urea seharga Rp225.000 per kilogram.
Semenjak pemerintah menurunkan harga pupuk subsidi sebesar 20 persen, Yoyon belum melakukan penebusan karena belum memasuki musim tanam. Penebusan akan dilakukan dirinya pada 7 Januari 2026.
Hanya saja, dirinya bersyukur karena ketersediaan pupuk yang tepat waktu membuat pemupukan bisa dilakukan sesuai jadwal, sehingga pertumbuhan padi lebih optimal dan hasil panen meningkat.
Baginya kerja di bawah terik matahari memang melelahkan, tetapi kepuasan memproduksi pangan dan melihat sawah tumbuh subur menjadi penyemangat tersendiri.
Aktivitas pertanian ini juga menggerakkan ekonomi desa, karena Yoyon memberdayakan sekitar 27 buruh tani yang ikut terlibat dalam proses tanam, hingga panen.
Dengan dukungan pupuk yang mudah diakses dan harga gabah Rp6.500 per kilogram yang diserap Bulog, Yoyon merasa lebih tenang menatap musim tanam berikutnya.
Rojai (50) petani padi asal Desa Tegalkarang, Kecamatan Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, Selasa (5/8/2025). ANTARA/HariantoHal senada dirasakan Rojai (50), petani asal Desa Tegalkarang, Kecamatan Palimanan, Cirebon, yang sejak muda mengolah sawah, merasakan perubahan besar, ketika akses mendapatkan pupuk, kini lebih cepat, sederhana, dan pasti mendukung semangat bertani sehari-hari.
Sebagai ketua Ketua Gabungan Kelompok Tani Makmur di desanya, ia menyaksikan langsung transformasi pelayanan pupuk bersubsidi yang kini dimulai dari pendataan awal, transparan, terkoordinasi penyuluh, serta berpihak pada petani kecil.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































