Pulau Kelapa yang warganya berperang melawan sampah

3 weeks ago 18
Warga kami mereka bergerak sendiri. Tidak menunggu bantuan datang baru bergerak. Ini bukan hanya soal sampah, tapi tentang menyelamatkan pulau kami

Jakarta (ANTARA) - Sungguh beruntung berkesempatan menyambut pagi di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, bertemankan debur gelombang dan aroma asin air laut yang menusuk lembut ke hidung.

Kapal-kapal wisata di dermaga pun seolah menari di atas air biru nan jernih dan dinaungi langit yang cerah. Suasana serasa sedang terjebak di dalam sebuah lukisan yang baru selesai dibuat oleh seniman berbakat.

Keindahan itu tak terlepas dari buah perjuangan panjang sekelompok warga yang berperang tanpa senjata melawan tumpukan sampah. Sebelumnya, permasalahan ini sempat membuat pulau kecil di ujung utara Jakarta itu hampir tak berdaya.

Belasan tahun yang lalu, hampir setiap pagi, warga disambut oleh gunungan plastik yang terbawa ombak dari daratan ibu kota, bercampur limbah rumah tangga mereka sendiri yang dibuang ke laut karena tak ada pilihan lain.

Dermaga yang dipenuhi kapal wisatawan itu dulunya.memang jadi muara limbah. Bahkan di musim rob, tumpukan sampah itu masuk ke halaman rumah warga. Kadang juga ikut ke dalam dapur.

Kapal cepat angkutan wisatawan bersandar di Dermaga Pulau Kelapa Dua, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi Jakarta, Kamis (24/4/2025). (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

Perubahan mulai terjadi setidaknya pada tahun 2018. Ia datang dari seorang warga bernama Zainal yang tidak tahan memendam rasa frustrasi menghadapi bau sampah tak berkesudahan.

Zainal bukan aktivis lingkungan, bukan pula pemilik gelar akademik tinggi. Ia hanya seorang warga Pulau Kelapa yang kebetulan menjadi petugas dari Suku Dinas Lingkungan Hidup Kepulauan Seribu. Tapi di tengah keputusasaan, dialah yang pertama kali berdiri. Ia menggandeng sahabat lamanya, Nuryana, dan bersama-sama mereka merancang sesuatu yang belum pernah dicoba untuk mengatasi sampah di pulau itu, yakni Bank Sampah.

Awalnya, ide itu terdengar asing di telinga warga. Mengolah sampah? Menyortir dari rumah? Mengapa repot, jika selama ini bisa tinggal buang ke laut atau tumpuk di belakang rumah?.

Namun Zainal tak mundur. Ia mulai dari rumah ke rumah, menyapa tetangga, menjelaskan perlahan, menunjukkan bahwa ada nilai di balik botol plastik, kardus bekas, dan limbah dapur. Setiap akhir pekan, ia dan Nuryana berdiri di satu sudut pulau, menimbang sampah yang dibawa oleh beberapa ibu rumah tangga yang mulai percaya. Jumlahnya tidak banyak, tapi cukup untuk menyalakan api perubahan.

“Dulu, nyaris semua sampah dibuang ke laut. Sekarang, kami hanya kirim residu yang benar-benar tidak bisa diolah ke Bantar Gebang, dan itu pun seminggu sekali,” kata Zainal, senyumnya tipis, tapi matanya menyala.

Di bangunan gubuk sederhana berdinding tripleks dan atap asbes bekas, Bank Sampah ini berdiri. Belum megah, tapi kokoh oleh niat para pengurusnya. Dari sinilah mereka berhasil memangkas 80 persen sampah yang sebelumnya menyesaki pesisir - sebidang lahan yang dijadikan sebagai tempat pembuangan sementara (TPS).

Nuryana masih ingat hari-hari pertama Bank Sampah berdiri. Tidak ada tepuk tangan atau sambutan meriah. Yang ada justru bisik cibiran dan tatapan ragu dari tetangga. Namun, ia bertahan. Bersama Zainal, ia menjelaskan berulang kali bahwa sampah bukan sekadar limbah, melainkan sumber daya yang bisa diubah menjadi rupiah.

“Dulu, limbah dibuang ke laut atau dibiarkan tertimbun untuk memperluas lahan. Sekarang, memilah dan menyetor sudah jadi kebiasaan. Butuh waktu setidaknya enam bulan hanya untuk menyadarkan masyarakat bahwa sampah bisa punya nilai,” kata dia dengan suara lirih tapi yakin, seperti seseorang yang sudah berdamai dengan penolakan demi perubahan.

“Saya lihat sendiri gunungan sampah di Bantar Gebang. Saat itu saya merasa berdosa karena membiarkan sampah menumpuk di pulau ini,” kata Nuryana, mengenang study tour dari Suku Dinas Lingkungan Hidup Kepulauan Seribu. Momentum ini yang menjadi titik balik kesadarannya. Sejak itu, semangat yang dibawanya menular kepada masyarakat setempat bukan dengan ceramah, tapi dengan keteladanan.

Nuryana dan Bank Sampah-nya kini memiliki lima pengelola aktif dengan 106 anggota. Setiap akhir pekan, para ibu rumah tangga, yang sebagian besar tak pernah bersentuhan dengan konsep lingkungan sebelumnya, kini menjadi motor penggerak. Mereka tak hanya menjemput sampah ke rumah-rumah, tetapi juga mencatat, menimbang, dan mengelola tabungan berbasis volume sampah.

Hasilnya mungkin tak mengubah statistik nasional, tapi berdampak besar bagi warga pulau. Tabungan dari sampah itu biasanya dicairkan menjelang Idul Fitri; antara Rp500 ribu hingga jutaan rupiah per tahun, cukup untuk membeli kebutuhan lebaran tanpa harus meminjam.

Sampah yang dulunya sumber masalah, kini jadi sumber penghidupan. Lebih dari 200 - 300 kilogram sampah yang mereka kumpulkan setiap minggunya. Limbah kemasan minuman-makanan instan disulap jadi tas dan dompet. Limbah kayu berubah menjadi miniatur kapal pinisi yang dijual ke wisatawan. Dalam hal ini Nuryana dan para perempuan pulau menjelma menjadi agen perubahan, mereka memutar roda ekonomi dari tumpukan plastik yang dulu dianggap najis.

Anggota Bank Sampah di Pulau Kelapa Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi Jakarta, Kamis (24/4/2025), mengangkut sampah kardus ke gubuk penyimpanan untuk kemudian dimanfaatkan sebagai nilai tambah pendapatan para anggotanya. (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

Lurah Pulau Kelapa, Muslim, tidak duduk diam melihat gerakan yang terus bertumbuh ini. Ia tahu, sebuah perubahan tak bisa bertahan jika hanya bergantung pada segelintir orang. Maka, ia hadir bukan sebagai komando, melainkan sebagai penyokong.

“Warga kami mereka bergerak sendiri. Tidak menunggu bantuan datang baru bergerak. Ini bukan hanya soal sampah, tapi tentang menyelamatkan pulau kami,” kata Muslim, yang saat itu baru saja pulang dari Ibu Kota untuk mengikuti pertemuan dengan para pejabat teras Pemerintah Provinsi Jakarta.

Ia menyaksikan sendiri bagaimana gerakan ini tumbuh dari nol. Dari lima RW yang pernah aktif, sekarang tersisa tiga yang konsisten. Namun, semangatnya justru makin tajam. Pengelolaan sampah di Pulau Kelapa kini terhubung dengan kebun hortikultura dan tambak ikan. Limbah dapur menjadi kompos, lalu ditaburkan ke tanah pekarangan. Sisa nasi dicampur menjadi pakan ikan ternak. Dan hasilnya? Warga tak hanya mandiri secara lingkungan, tapi juga mulai menapak pada kemandirian pangan.

Yang lebih istimewa, Bank Sampah tumbuh dan berkembang tanpa menggantungkan diri pada anggaran pemerintah daerah. Semua dijalankan atas dasar kesadaran, gotong royong, dan sedikit bantuan dari sejumlah lembaga sosial.

Belakangan ini Bank Sampah Pulau Kelapa mendapat bantuan berupa gerobak, sepatu boot, hingga pelatihan bidang manajerial-padat karya, dari para tim relawan Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) dan Diver Clean Action (DCA). Walau pendampingan masih sederhana tapi warga menyambutnya dengan sangat serius, sehingga pertemuan itu menjadi bermakna.

Muslim tak memungkiri kalau kondisi mereka sangat membutuhkan dorongan seperti yang dilakukan lembaga sosial tersebut, karena bila hanya mengandalkan pos anggaran di kelurahan saat ini maka, tidak akan pernah cukup untuk menunjang keberlanjutan Bank Sampah di wilayahnya.

Meskipun Bank Sampah ini sudah diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) No. 77/2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun Warga. Tapi menurut dia, tidak bisa semua dibebankan kepada kelurahan.

Tumpukan sampah yang sudah dipilah oleh para anggota Bank Sampah di Pulau Kelapa Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi Jakarta, Kamis (24/4/2025). Sampah ini dibuang di tempat penampungan sementara (TPS) yang disiapkan oleh warga setempat untuk kemudian diangkut menggunakan kapal ke TPA Bantar Gebang karena tidak bisa diolah. (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

Pria berambut cepak itu menyebutkan bahwa jangankan untuk melakukan pendampingan-modal peralatan, anggaran kelurahan pun sampai sekarang tidak bisa menyediakan lahan – membangun bangunan representatif untuk menjadi pusat operasional Bank Sampah. Semua operasional Bank Sampah di Pulau Kelapa masih alakadarnya dan menumpang di atas lahan milik perorangan.

Padahal secara keseluruhan lebih dari 600 hingga 700 kilogram sampah terkumpul setiap pekan di Pulau Kelapa ini. Mulai dari botol plastik, kardus, besi, kayu limbah hingga bungkus plastik makanan ringan bisa diubah menjadi kerajinan yang bernilai jual dari tangan kreatif warga.

“Bahkan di salah satu Bank Sampah di pulau ini, Rp10 juta per tahun tabungannya. Tapi kapasitas daya tampung gudangnya masih minim karena kami belum punya lahan sendiri, alias menumpang jadi, kami tidak bisa melayani permintaan kerajinan lebih banyak,” kata dia menjelaskan.

Sisi positif dari adanya gerakan pengelolaan sampah adalah memberi angin segar pada sektor kunjungan wisatawan ke Pulau Kepala yang memiliki daya tarik sebagai destinasi wisata edukasi penangkaran penyu. Mereka mencatat ada lebih dari 5.000 wisatawan dari domestik/mancanegara yang berkunjung per bulannya.

Angka kunjungan tersebut biasanya akan terpangkas hingga 50 persen ketika pulau dipenuhi sampah kiriman dari daerah sekitarnya yang hanyut terbawa ombak, khususnya periode November-Januari saat banjir rob.

“Belum lagi sampah ini berkaitan erat dengan kesehatan, umumnya disini punya masalah penyakit kulit. Sekarang jauh berkurang. Jadi Bank Sampah di sini sangat berpengaruh tapi supaya berkelanjutan butuh lebih banyak mata melihat,” ungkapnya.

Pernyataan Muslim ini menggambarkan bahwa birokrasi lokal pun ikut bertransformasi berkat adanya Bank Sampah. Mereka bukan hanya mengatur, tapi juga turun melayani, memikirkan bagaimana solusi mengisi kekosongan sehingga potensi yang pupus dan ada bisa terus berkelanjutan.

Kini pulau kecil yang dulunya nyaris tenggelam oleh limbah setidaknya mampu berdiri dengan bangga. Mereka ditenagai bukan oleh teknologi canggih, bukan pula oleh anggaran besar, tetapi oleh kesadaran kolektif dan tangan-tangan yang tak pernah lelah bekerja.

Baca juga: Bank Sampah di Kepulauan Seribu tekan sampah rumah tangga 80 persen

Baca juga: PHE ONWJ dan warga Tanjungpakis kerja sama olah sampah jadi rupiah

Baca juga: Hari Bumi, KLH ingatkan peran bank sampah kurangi timbulan sampah

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |