Jakarta (ANTARA) - Ketika pasar saham global bergejolak karena kebijakan tarif terbaru Amerika Serikat, banyak yang melihat fenomena itu sekadar respons sesaat terhadap ketidakpastian ekonomi.
Namun, jika ditelisik lebih dalam, gejolak ini sejatinya merupakan bagian dari gejala yang lebih besar yakni berakhirnya era globalisasi seperti yang dikenal selama tiga dekade terakhir.
Sebab apa yang terjadi hari ini bukan hanya tarik-menarik dagang antarnegara besar, melainkan sebuah transformasi mendasar dalam cara dunia berinteraksi secara ekonomi dan politik.
Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Amerika bukanlah langkah yang berdiri sendiri. Ia adalah puncak dari akumulasi ketidakpuasan dan kegamangan terhadap struktur global yang selama ini dianggap memberikan keuntungan tidak merata.
Ketika Amerika memutuskan untuk membebani barang-barang impor dengan tarif tinggi, sesungguhnya yang mereka lakukan adalah mendekonstruksi aturan main global yang sebelumnya mereka dorong sendiri.
Ini adalah bentuk nyata dari penarikan diri dari konsensus global dan penguatan logika kedaulatan ekonomi.
Dalam video berdurasi lima menit yang diunggah ke akun media sosialnya pada 4 April 2025, Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong bahkan menggambarkan kebijakan tarif Trump sebagai sebuah "perubahan besar dalam tatanan global" PM Wong juga menegaskan bahwa era globalisasi dan perdagangan bebas yang berbasis pada aturan telah berakhir.
Dampaknya memang terasa luas dan cepat. Meskipun pasar saham Indonesia masih tutup karena libur saat kebijakan itu diumumkan, tapi penurunan keseluruhan di pasar saham Korea, Jepang, Singapura, Eropa, dan wilayah lainnya tetap menarik perhatian dan memicu diskusi luas di kalangan investor.
Seiring dengan itu, perusahaan-perusahaan multinasional mengalami tekanan yang luar biasa karena rantai pasok global terganggu.
Biaya produksi melonjak, inflasi merangkak naik, dan daya beli konsumen menurun. Ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal ideologi.
Aliansi eksklusif
Seketika dunia mulai berpaling dari gagasan satu pasar global yang saling terhubung menuju sistem yang lebih terfragmentasi, lebih tertutup, dan lebih berorientasi pada kelompok aliansi yang eksklusif.
Jika dahulu dunia bicara tentang perdagangan bebas sebagai norma, kini yang terjadi adalah kebangkitan proteksionisme dengan wajah baru mencakup tarif, embargo teknologi, pembatasan investasi lintas batas, dan strategi friend-shoring.
Negara-negara mulai menyusun strategi ekonomi dengan asumsi bahwa stabilitas global tak lagi bisa dijamin.
Hal ini terlihat jelas dalam kebijakan “kemandirian strategis” Uni Eropa, atau “sirkulasi ganda” China yang menekankan produksi dan konsumsi domestik sebagai jangkar stabilitas nasional.
Semua ini adalah respons terhadap realitas baru bahwa globalisasi tak lagi dianggap sebagai jaminan pertumbuhan, tetapi justru sumber kerentanan.
Manajer Riset Bank Dunia, Daria Taglioni, pada 2023 telah menyoroti transformasi besar dalam sistem perdagangan global yang berkaitan erat dengan perubahan pola organisasi industri.
Ia mencermati bahwa tren menuju regionalisasi, pemindahan kembali produksi (reshoring), dan berbagai bentuk deglobalisasi lainnya mengancam dua fondasi utama ekonomi modern, yakni kompleksitas ekonomi dan saling ketergantungan antarnegara.
Kedua aspek ini selama ini berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan inovasi teknologi.
Namun, menjaga manfaat tersebut di tengah tata kelola ekonomi global yang semakin terpecah menjadi tantangan kebijakan perdagangan paling berat dalam beberapa dekade terakhir.
Ketegangan dagang yang kini menjalar ke ranah geopolitik semakin mengukuhkan pergeseran ini. Ketika Uni Eropa dan China secara terbuka menyatakan akan membalas kebijakan tarif Amerika, artinya dunia sudah tidak lagi bicara dalam kerangka kerja sama, tetapi dalam logika kompetisi yang keras.
Dunia kembali terseret pada dinamika blok ekonomi, di mana aliansi strategis menjadi kunci. Jalur-jalur investasi pun mulai mengikuti logika yang sama, dari arus global ke arus regional, dari pasar terbuka ke pasar-pasar yang dianggap “aman” dalam kerangka politik yang disepakati bersama.
Dalam konteks ini, tren deglobalisasi bukan lagi wacana spekulatif, tapi kenyataan struktural. Rantai pasok global yang dahulu efisien kini dilihat sebagai sumber risiko.
Negara-negara mulai membangun sistem produksi yang lebih dekat secara geografis dan politis, menghindari ketergantungan pada negara-negara yang dianggap berpotensi menjadi “musuh” di masa depan.
Hal ini menciptakan peluang bagi negara-negara yang dianggap netral, memiliki sumber daya alam, dan tidak terlalu terjebak dalam pertarungan geopolitik.
Peluang Indonesia
Dalam artikel The Specter of Deglobalization, T.V. Paul, profesor hubungan internasional di Universitas McGill dan direktur pendiri Jaringan Penelitian Global tentang Perubahan Damai, membahas kekhawatiran yang semakin berkembang bahwa era globalisasi tengah digantikan oleh gelombang nasionalisme, proteksionisme, ekspansi teritorial, serta bentuk baru Perang Dingin yang ditandai oleh perebutan pengaruh antar kekuatan besar.
Meskipun kekuatan deglobalisasi semakin menonjol, Paul menekankan bahwa arus globalisasi belum sepenuhnya hilang, ia masih berlangsung secara paralel, meskipun lebih terhambat dan tidak merata dibanding sebelumnya.
Artikel ini menyoroti dinamika kompleks antara kecenderungan menuju fragmentasi global dan upaya mempertahankan kerja sama lintas negara dalam dunia yang semakin terpolarisasi.
Merespons fenomena tersebut, sejatinya Indonesia termasuk salah satu negara yang berpotensi menonjol dalam lanskap baru ini.
Letaknya yang strategis, kekayaan sumber daya, serta sikap politik luar negeri yang relatif netral menjadikannya tujuan menarik bagi modal yang mencari pelabuhan aman.
Ketika dunia semakin terpecah, stabilitas menjadi komoditas paling berharga. Dan dalam peta itu, Indonesia dapat memosisikan diri sebagai simpul baru ekonomi regional yang menjanjikan.
Sektor-sektor seperti infrastruktur, energi, pertambangan, dan keuangan akan menjadi pusat perhatian.
Proyek-proyek pembangunan berbasis ekonomi biru, ekspor sumber daya, serta stabilitas sistem keuangan nasional menjadi daya tarik tersendiri.
Dalam kondisi seperti ini, strategi investasi juga harus berpindah dari pola konvensional menuju alokasi yang lebih beragam, lebih defensif, dan berorientasi jangka panjang.
Aset lindung nilai seperti emas, dolar AS, serta saham perusahaan yang kuat secara regional akan menjadi pilihan utama para investor.
Yang perlu disadari adalah bahwa dinamika ini bukanlah gangguan sesaat yang bisa diatasi dengan stimulus atau kebijakan jangka pendek. Ini adalah tanda zaman, sinyal bahwa dunia tengah memasuki era ekonomi-politik yang baru.
Dunia pasca-globalisasi akan lebih kompleks, penuh fragmentasi, dan sarat pertarungan kepentingan. Namun di tengah kerumitan itu, juga terbuka banyak peluang bagi negara dan aktor ekonomi yang cermat membaca arah perubahan.
Manusia tidak lagi hidup di dunia yang ditentukan oleh “satu pasar global”, tetapi di dunia yang ditentukan oleh keberanian dalam membaca arah dan fleksibilitas dalam menyesuaikan strategi.
Dalam era yang tak menentu, justru kemampuan untuk mengenali pola dan bertindak berdasarkan perubahan struktural adalah kekuatan utama.
Maka berakhirnya era globalisasi bukanlah akhir dari segalanya, tapi permulaan dari babak baru yang menuntut kecerdasan, ketangguhan, dan visi jangka panjang.
Copyright © ANTARA 2025