Istanbul (ANTARA) - Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa, Kamis (17/7) menerima panggilan telepon dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman dan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani.
Pembicaraan melalui sambungan telepon tersebut membahas perkembangan terkini di Suriah, terutama situasi yang memburuk di wilayah selatan negara tersebut.
Menurut pernyataan dari kantor kepresidenan Suriah, para pemimpin kawasan itu menyatakan solidaritas penuh terhadap Suriah dan menegaskan penolakan mereka atas segala bentuk campur tangan asing dalam urusan dalam negeri Suriah.
Ketiganya secara khusus mengecam dan menolak serangan Israel yang terus berulang terhadap wilayah Suriah dan menggambarkannya sebagai “eskalasi berbahaya yang mengancam stabilitas kawasan dan dapat memicu kekacauan lebih lanjut.”
Para pemimpin itu juga menekankan komitmen mereka terhadap persatuan dan keutuhan wilayah Suriah, serta pentingnya bagi negara Suriah untuk menjalankan kedaulatan penuh atas seluruh wilayahnya.
Mereka juga menyoroti perlunya memulihkan keamanan dan stabilitas di seluruh negeri sebagai prioritas utama demi kepentingan seluruh warga Suriah.
Presiden Al-Sharaa menyampaikan terima kasih kepada Turki, Arab Saudi, dan Qatar atas dukungan yang mereka berikan di masa yang ia sebut sebagai periode krisis nasional untuk Suriah.
Dia menegaskan komitmen pemerintah Suriah untuk melindungi semua elemen masyarakat, termasuk hak dan keamanan setiap kelompok agama dan etnis, sebagai bagian dari tanggung jawab utama negara.
Sharaa juga menyatakan bahwa gejolak yang terjadi saat ini merupakan akibat dari penyebaran senjata dan campur tangan asing.
Ia menegaskan bahwa pemerintah Suriah akan tetap berkomitmen untuk menindak siapa pun yang melanggar hukum atau menolak tunduk pada otoritas negara, demi menjaga persatuan nasional serta melindungi martabat dan keselamatan seluruh warga.
Pernyataan dukungan tiga pemimpin regional itu datang sehari setelah pasukan Israel melancarkan serangan udara terhadap lebih dari 160 sasaran di empat wilayah Suriah -- Suwayda, Daraa, Damaskus, dan pinggiran Damaskus -- yang menewaskan tiga orang dan melukai 34 lainnya di ibu kota saja.
Pada 13 Juni, bentrokan pecah antara suku Arab Badui dan kelompok bersenjata Druze di Suwayda. Kekerasan meningkat, termasuk serangan mematikan yang dilancarkan kelompok Druze terhadap pasukan keamanan Suriah yang dikerahkan ke wilayah tersebut. Puluhan tentara dilaporkan tewas.
Gencatan senjata sementara sempat dicapai antara pasukan pemerintah dan faksi lokal Druze, namun tidak berlangsung lama. Serangan udara Israel menyusul, dengan sasaran posisi militer dan infrastruktur Suriah.
Israel menyatakan bahwa serangan itu dilakukan untuk “melindungi komunitas Druze,” khususnya di wilayah selatan Suriah.
Namun sebagian besar pemimpin Druze di Suriah secara terbuka menolak campur tangan asing dan kembali menegaskan komitmen mereka terhadap kesatuan negara Suriah.
Setelah jatuhnya Bashar al-Assad pada Desember 2024, Israel meningkatkan serangan udara di Suriah dan secara sepihak menyatakan bahwa zona penyangga antara kedua negara tidak lagi berlaku, bersama dengan Perjanjian Pemisahan 1974.
Assad, yang memimpin Suriah selama hampir 25 tahun, melarikan diri ke Rusia pada Desember, mengakhiri rezim Partai Baath yang telah berkuasa sejak 1963.
Sebagai gantinya, pemerintahan transisi baru di bawah kepemimpinan Presiden Ahmed al-Sharaa dibentuk pada Januari 2025.
Sumber: Anadolu
Baca juga: Tidak dukung serangan Israel di Suriah, AS desak de-eskalasi
Penerjemah: Katriana
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.