Jakarta (ANTARA) - Policy and Program Director Center for Policy Studies (Prasarti) Piter Abdullah menilai data komponen pertumbuhan ekonomi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sudah cukup valid dan mencerminkan kondisi perekonomian yang sebenarnya.
Sebagaimana diketahui, BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12 persen pada triwulan II 2025. Konsumsi rumah tangga tercatat sebagai penopang utama yang mencatat pertumbuhan 4,97 persen, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 4,93 persen.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, Piter mengatakan daya beli masyarakat, khususnya untuk kebutuhan pokok memang tetap terjaga meskipun perekonomian menghadapi berbagai tekanan seperti gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penurunan indeks keyakinan konsumen.
“Saya kira angka yang disampaikan BPS itu masih cukup valid dan reliabel untuk kita pakai, bahwasanya di tengah berbagai gejolak perekonomian, PHK, indeks keyakinan konsumen yang turun, tapi konsumsi enggak turun," ujar dia.
Menurut dia, penurunan realisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang banyak dinilai bertentangan dengan data komponen pertumbuhan ekonomi tidak otomatis menandakan konsumsi masyarakat secara keseluruhan melemah.
Sebagai informasi, data Kementerian Keuangan menunjukkan penerimaan PPN dan PPnBM semester I 2025 mencapai Rp267,3 triliun, turun sekitar 20 persen dibandingkan Rp332,9 triliun pada periode sama tahun lalu.
Piter memandang PPnBM umumnya dikenakan pada barang mewah yang lebih banyak dikonsumsi kelompok menengah atas, sedangkan mayoritas masyarakat berada di kelompok menengah bawah dan bawah.
“Ketika konsumsi itu menyangkut barang pokok, umumnya sifatnya tidak elastis. Bahkan ketika perang pun kita masih makan dan minum, apalagi hanya sekadar perlambatan,” katanya, menjelaskan.
Ekonomi digital saat ini juga turut membantu menjaga konsumsi. Sebab, banyak pekerja yang terdampak PHK beralih mencari penghasilan di sektor daring, seperti menjadi pengemudi ojek daring atau berjualan di media sosial, sehingga tetap mampu membiayai kebutuhan dasar, katanya, menjelaskan.
Lebih lanjut, Piter juga menyoroti pergeseran perilaku belanja masyarakat yang kini lebih memilih niaga elektronik (e-commerce) dibanding berbelanja langsung di pusat perbelanjaan.
“Kita bisa melihat bagaimana sekarang mal-mal sepi. Bukan karena 'Rojali' atau 'Rohana', tetapi utamanya karena gaya hidup yang berubah. Sekarang kita pergi ke mal bukan untuk belanja, karena belanjanya sudah dilakukan secara 'online',” ujar dia.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa pertumbuhan konsumsi nasional masih relatif stagnan di bawah 5 persen, yang berarti belum optimal.
“Pertumbuhan lima persen itu sebenarnya bisa tercapai tanpa melakukan apa pun karena konsumsi adalah sesuatu yang secara alami pasti kita lakukan,” katanya.
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.