Ende (ANTARA) - Pola asuh orang tua yang belum memprioritaskan perhatian dan asupan gizi bagi anak dinilai menjadi salah satu penyebab tingginya angka stunting di Kabupaten Ende.
Kepala Bidang Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Ende Maria A. Eka saat ditemui di Kota Ende, Kamis, mengatakan faktor tersebut juga dipengaruhi oleh latar belakang pekerjaan para orang tua, seperti di Kecamatan Datusoko, yang merupakan wilayah pertanian.
"Para orang tua yang bermata pencaharian sebagai petani di Kecamatan Datusoko itu saat musim tanam tiba mereka menghabiskan waktu hingga lima pekan di ladang. Jadi anak-anak disana tidak diperhatikan cenderung terlantar," kata dia dalam sosialisasi Program AMPUH "Aksi Mencegah Malnutrisi dengan Pangan Telur Harian" Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) itu.
Menurut dia, secara prinsipnya per kepala keluarga itu rata-rata bisa menyelesaikan penanaman bibit padi di ladang itu dalam waktu sepekan.
Tetapi kenyataan yang ditemukan di lapangan mereka mempunyai kebiasaan berladang secara gotong-royong dengan kelompok masing-masing, sehingga ketika semua selesai menanam baru mereka pulang.
Aktivitas tersebut menurutnya mengakibatkan pengawasan terkait pola makan dan asupan gizi seimbang tidak didapatkan anak-anak yang dititipkan orang tuanya kepada kakek, nenek, bibi, atau kerabat selama mereka berladang.
Baca juga: BKKBN kolaborasi turunkan stunting dan kemiskinan ekstrem di NTT
"Dua sampai tiga kali musim tanam di Ende, nah jadi dalam setahun gizi mereka gak stabil toh. Kondisi ini berkontribusi pada terjadinya penurunan gizi pada anak, meskipun Kabupaten Ende merupakan daerah subur dengan ketersediaan pangan yang melimpah," kata dia.
Merujuk data terbaru yang dipegang Dinkes Kabupaten Ende tercatat, dari 15.000 anak yang ada, terdapat 7,9 persen atau 1.242 kasus anak yang mengalami stunting. Adapun jumlah prevalensi stunting itu cukup lebih baik dibandingkan periode penimbangan tahun sebelumnya yang sebesar 8,2 persen.
Pengukuran antropometri yang dilakukan dengan evaluasi stunting pada bulan Februari dan Agustus 2024 itu mengungkapkan adanya gangguan gizi sejak usia 0–6 bulan, 6–24 bulan, dan di atas 24 bulan.
Maria mengakui pemerintah telah meluncurkan program peningkatan asupan gizi seimbang seperti protein dua kali lipat dari biasanya serta program konvergensi stunting, hingga program pemantauan gizi dilakukan di 21 kecamatan, 278 desa, dan 26 puskesmas di seluruh Kabupaten Ende.
Bahkan, sejak reformasi birokrasi kesehatan pada Agustus 2023, layanan posyandu di Kabupaten Ende diperluas dalam bentuk Integrasi Layanan Primer (ILP) yang mencakup bayi, balita, ibu hamil, dan lansia. Cakupan layanan posyandu di Kabupaten Ende sudah hampir mencapai 100 persen, dengan dengan partisipasi anak ke posyandu mencapai 92,3 persen.
"Nah mengapa semua ini bisa terjadi? Melihat kondisi lapangan dapat dikatakan aspek pendampingan terhadap anak dan orang tua ternyata masih menjadi pekerjaan rumah," kata dia.
Baca juga: Kemenkes andalkan pencegahan dalam proyek penurunan stunting di NTT
Terkait pendampingan itu, lanjutnya, tidak bisa dilakukan sekedar mengerahkan tim pendamping yang menyosialisasi gizi tetapi butuh lebih komprehensif lagi, bahkan aparat penegak hukum dan relawan, seperti WVI, juga bisa melakukan skema pendekatan di dalamnya.
Hal tersebut dikarenakan kasus pernikahan dini atau hamil di luar nikah resmi secara hukum negara, bahkan anak korban inses karena ibu atau ayahnya menjadi pekerja migran kian marak di Kabupaten Ende. Menurut Maria, angka 7-8 persen yang tidak tercatat mengunjungi layanan posyandu itu juga termasuk mereka yang berada dalam kondisi yang kurang beruntung ini.
"Aduh prihatinnya ini juga memengaruhi. Jadi mereka malu, orang tua yang melahirkan merasa beban moril, ada dari mereka yang sekarang sedang ditangani Dinas PPPA gak berani balik ke desanya," ujarnya.
Dengan kondisi itu Dinkes Kabupaten Ende menyambut positif program pengentasan masalah anak stunting dan gizi belum seimbang yang diinisiasi Yayasan WVI.
Yayasan itu rutin mengadakan pos gizi untuk pemantauan gizi anak-anak Ende, memberikan pendampingan kepada kelompok masyarakat membutuhkan di posyandu yang ada, hingga penciptaan kemandirian pangan melalui dapur gizi dan sebagainya.
"Kemudian ada inisiatif cegah malnutrisi dengan telur, ini sebagai program baik. Jadi bukan memberi telur saja tapi memberi bibit ayam petelur sehingga ada kemandirian pangan di dalam masyarakat. Intinya pendampingan sangat dibutuhkan sehingga perlu melibatkan semua pihak, kami sebut itu konvergensi stunting," ujar Maria.
Baca juga: BKKBN edukasi bidan di NTT cegah stunting pada 1.000 HPK
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2025