Jakarta (ANTARA) - Konflik geopolitik yang memanas antara Amerika Serikat dan China bukanlah sekadar perselisihan dua raksasa dunia, tetapi sebuah gempa yang mampu menggeser fondasi tatanan perdagangan global.
Ketika Presiden AS Trump mengancam menghentikan seluruh negosiasi dengan China, Beijing merespons dengan langkah-langkah balasan, seperti pelonggaran nilai tukar RMB, yang sebenarnya tengah terjadi adalah pengujian ulang atas siapa yang memegang kekuasaan sejati dalam arsitektur ekonomi dunia.
Banyak pihak khawatir (dan wajar bila demikian), Indonesia akan terkena dampak. Tapi barangkali sudah waktunya berhenti melihat diri sebagai korban dari kekacauan global, dan mulai membaca realitas ini sebagai peluang untuk menetapkan posisi strategis baru di tengah pusaran yang terjadi.
Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), bahkan juga sudah menilai kebijakan tarif resiprokal sebesar 32 persen yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump tidak akan berimbas signifikan secara kualitatif terhadap perekonomian Indonesia.
Ekonom Bidang Asia Tenggara ADB Nguyen Ba Hung menyatakan bahwa hal tersebut karena total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat yang relatif kecil.
Karena itu, Indonesia tidak perlu panik secara berlebihan. Bangsa ini bisa belajar dari Kamboja dan Vietnam. Meski kedua negara dikenal dekat secara politik dengan China, reaksi mereka atas tekanan tarif Amerika Serikat menunjukkan satu hal penting, yakni dalam dunia perdagangan global, loyalitas bukan ditentukan oleh sejarah diplomatik, tapi oleh aritmatika keuntungan ekonomi.
Ketika tarif AS terhadap China meningkat, Kamboja dan Vietnam justru memotong tarif untuk produk Amerika. Ini bukan pengkhianatan, tapi pilihan rasional yang menunjukkan arah angin bahwa negara-negara yang berorientasi ekspor akan selalu memilih pembeli, bukan penjual.
Pembeli menyediakan sumber devisa, fondasi pertumbuhan ekonomi, dan alasan keberlangsungan industri domestik.
Bagi negara yang berorientasi ekspor, kehilangan pembeli berarti kehilangan mata pencaharian, sedangkan kehilangan penjual memang akan meningkatkan biaya rantai pasokan, tapi bukan sesuatu yang tidak bisa digantikan.
Walaupun produk China mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, tapi secara global bukanlah satu-satunya pilihan. Kamboja sepenuhnya bisa mengimpor produk yang sama dari Vietnam, India, atau bahkan negara-negara Eropa Timur. Walaupun harganya sedikit lebih mahal, operasionalnya tetap bisa berjalan dengan normal.
Tapi kehilangan pasar Amerika artinya kehilangan sumber pendapatan devisa dan fondasi utama bagi pesanan ekspor, sedangkan kelebihan kapasitas produksi China sudah menjadi konsensus global, China tidak butuh dan juga tidak mungkin membeli produk Kamboja dalam jumlah besar.
Jadi, dari sudut pandang strategi nasional dan kepentingan ekonomi yang nyata, walaupun secara politik lebih dekat dengan China, dalam menghadapi tarif dan garis hidup ekspor, Kamboja dan Vietnam tetap tanpa ragu memilih Amerika. Ini adalah respons rasional terhadap tekanan nyata berdasarkan kepentingan nasional.
Copyright © ANTARA 2025