Jakarta (ANTARA) - Pelecehan seksual di tempat kerja masih menjadi isu serius yang kerap terjadi di berbagai sektor industri. Meskipun banyak yang berusaha mengedukasi dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya lingkungan kerja yang aman, kasus pelecehan seksual tetap terjadi dan menimbulkan dampak buruk bagi korban, baik secara fisik maupun psikologis.
Pelecehan seksual di tempat kerja dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti komentar tidak senonoh, lelucon bertema seksual, sentuhan tanpa persetujuan, hingga pemaksaan seksual.
Tindakan-tindakan tersebut menciptakan lingkungan yang tidak aman dan tidak nyaman bagi para korban. Akibatnya, hal ini berdampak pada kesejahteraan fisik dan mental mereka, serta mengganggu kinerja di tempat kerja.
Dampak psikologis dari pelecehan seksual sangatlah besar, dengan korban sering kali mengalami trauma, stres, depresi, dan penurunan kepercayaan diri.
Baca juga: Polisi tangkap buron kasus pelecehan seksual di Panti Asuhan Tangerang
Lingkungan kerja yang dipenuhi ketidakamanan dan ancaman membuat korban merasa tertekan, yang akhirnya mempengaruhi konsentrasi dan mengurangi produktivitas mereka. Rasa tidak aman ini semakin memperburuk situasi di tempat kerja.
Selain itu, pelecehan seksual dapat menghambat perkembangan karir korban. Rasa takut dan kurangnya kepercayaan diri membuat korban enggan untuk mengejar peluang-peluang profesional yang lebih baik.
Dalam beberapa kasus, korban bahkan merasa terpaksa meninggalkan pekerjaan mereka untuk menghindari situasi yang tidak nyaman dan penuh tekanan.
Menghadapi masalah pelecehan seksual di tempat kerja yang semakin kompleks, perlindungan hukum bagi korban menjadi sangat penting. Diperlukan regulasi yang menyeluruh dan penerapan yang efektif untuk memastikan bahwa para korban mendapatkan keadilan dan perlindungan yang sesuai.
Dapat diketahui, setiap pekerja, tanpa memandang jenis kelamin, berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan di tempat kerja, termasuk kekerasan seksual.
Baca juga: Oknum PPPK tersangka kekerasan seksual di Bengkulu terancam dipecat
Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur bahwa setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh perlindungan dalam hal-hal berikut:
- Keselamatan dan kesehatan kerja,
- Moralitas dan kesusilaan,
- Perlakuan yang menghormati harkat, martabat manusia, serta nilai-nilai agama.
Menurut buku Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja yang diterbitkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bekerja sama dengan Organisasi Buruh Internasional, pelecehan seksual didefinisikan sebagai segala bentuk tindakan seksual yang tidak diinginkan.
Hal ini mencakup permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, baik dalam bentuk lisan maupun fisik, serta isyarat seksual yang dapat menyinggung atau merendahkan seseorang.
Tindakan tersebut dapat menyebabkan korban merasa tersinggung, dipermalukan, atau terintimidasi, dan sayangnya, reaksi tersebut dianggap wajar dalam konteks yang ada.
Baca juga: Kemensos RI atensi kasus pelecehan seksual tersangka tunadaksa
Jerat hukum pelaku pelecehan seksual di tempat kerja
Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pekerja berhak memperoleh perlindungan dari segala bentuk yang merugikan pekerja di tempat kerja.
Pelecehan seksual tersebut dapat berupa kata-kata, perbuatan, atau tindakan yang bersifat seksual yang dilakukan oleh rekan kerja atau atasan. Bentuk pelecehan ini tidak hanya merugikan korban, tetapi juga dapat merusak suasana kerja yang sehat dan produktif.
Baca juga: Korban pelecehan tersangka tunadaksa bertambah jadi 15 orang
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pelecehan seksual termasuk dalam kategori kejahatan terhadap kesusilaan, perkosaan, dan perbuatan cabul yang menyerang kehormatan serta kesusilaan.
Hal ini diatur dalam Pasal 281 hingga Pasal 296 KUHP, dengan ancaman hukuman pidana yang berkisar antara dua tahun delapan bulan hingga lima belas tahun penjara, terutama jika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian.
Selain itu, pelecehan seksual yang dilakukan melalui jaringan internet, seperti distribusi gambar atau video cabul, juga dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Perbuatan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, dan diancam dengan hukuman pidana.
Menurut Pasal 6 huruf C UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), pelaku kekerasan seksual dapat dijatuhi pidana penjara hingga 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp300 juta.
Selain itu, berdasarkan Pasal 294 KUHP lama dan Pasal 418 UU No. 1 Tahun 2023, ancaman hukuman bagi pelaku juga dapat mencapai pidana penjara hingga 7 tahun.
Baca juga: Komnas Perempuan minta penegak hukum terapkan UU TPKS dalam kasus IWAS
Perlindungan hukum bagi korban pelecehan seksual
Pemerintah telah menyediakan berbagai bentuk perlindungan hukum bagi korban pelecehan seksual. Salah satunya adalah melalui Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang memberikan dukungan psikologis dan hukum kepada korban.
Selain itu, korban juga dapat mengajukan gugatan perdata untuk meminta ganti rugi atas kerugian yang dialami akibat pelecehan seksual tersebut.
Perusahaan juga diharapkan untuk memiliki kebijakan internal yang jelas terkait pencegahan dan penanganan pelecehan seksual, termasuk menyediakan saluran pengaduan yang aman bagi para karyawan.
Dengan adanya regulasi yang jelas dan perlindungan hukum yang kuat, diharapkan kejadian pelecehan seksual di tempat kerja dapat diminimalisir.
Pelecehan seksual di tempat kerja adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian dan penanganan yang tepat. Melalui pemahaman akan hak-hak dan perlindungan hukum yang ada, diharapkan setiap pekerja dapat merasa aman dan nyaman dalam lingkungan kerjanya.
Pemerintah dan perusahaan harus bekerja sama untuk menciptakan ruang kerja yang bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk pelecehan seksual.
Baca juga: Fakta kasus pelecehan seksual Agus Buntung yang tuai perhatian publik
Baca juga: Polisi diminta gunakan "scientific crime investigation" kasus IWAS
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2024