Gaza (ANTARA) - Di atas ranjang rumah sakit yang berkarat di Gaza City, Issa Abu Laban menjalani perawatan dialisis (cuci darah) yang durasi setiap sesinya dipersingkat, sedangkan mesin dialisis yang digunakan pun sudah usang dan pasokan obat-obatan kian menipis.
"Tubuh saya tidak dapat membersihkan racun dalam darah," kata pria berusia 53 tahun itu.
Abu Laban merupakan salah satu dari ratusan pasien gagal ginjal di Gaza yang kini sedang menghadapi komplikasi yang mengancam nyawa mereka. Sistem kesehatan di Gaza yang rapuh, yang sudah diperlemah oleh blokade selama bertahun-tahun, kini berada di ambang kehancuran sejak konflik meletus pada 7 Oktober 2023.
Rumah sakit-rumah sakit kewalahan, para tenaga medis kelelahan, dan berbagai persediaan penting semakin sulit didapatkan. Krisis ini semakin parah setelah bantuan kemanusiaan dan obat-obatan tidak diperbolehkan memasuki daerah kantong tersebut sejak 2 Maret lalu, ketika fase pertama gencatan senjata berakhir.
Dua pekan kemudian, pada 18 Maret, Israel kembali melancarkan operasi militer sehingga kembali memicu pengungsian massal, yang kian memperberat tekanan pada segelintir rumah sakit yang masih beroperasi.
"Akibat blokade dan perang Israel, tidak ada makanan, air, atau bantuan kemanusiaan lainnya yang masuk ke Gaza," tutur Abu Mohammed Ajour, seorang pasien gagal ginjal berusia 62 tahun, kepada Xinhua.
Ajour kini harus tinggal di sebuah tempat penampungan sementara, dan sering kali tidak memiliki air minum yang bersih. "Air minum kemasan harganya sangat mahal. Saya tidak mampu membelinya," ungkap Ajour.
"Namun, tanpa air bersih, kondisi saya makin buruk. Bukan hanya perang yang membunuh kami, melainkan juga kehausan, kemiskinan, dan penelantaran," tuturnya.
Anak-anak menjadi salah satu korban paling rentan dalam krisis kesehatan ini. Yousef al-Rantisi yang berusia tujuh tahun, yang tampak pucat dan kelelahan, menggenggam sebuah boneka mainan saat menjalani perawatan dialisis.
"Saya merasa lemah dan kedinginan. Saya hanya ingin rasa sakit ini berhenti," bisiknya. Keluarga al-Rantisi, yang mengungsi dari Gaza utara, kini tinggal di sebuah tempat penampungan di permukiman Sheikh Radwan di Gaza City bagian utara.
Setiap pekan, al-Rantisi kesulitan untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit lantaran penghasilan keluarganya terbatas.
"Biaya transportasi 30 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.862), kami tidak mampu menanggungnya," tutur sang ayah, Mahmoud al-Rantisi, kepada Xinhua.
"Terkadang saya membawanya menggunakan kursi roda dan berjalan kaki selama dua jam untuk sampai di sini. Namun, ada hari-hari ketika kami tidak dapat ke rumah sakit, dan kondisinya memburuk. Bagi semua pasien gagal ginjal, bertahan hidup telah menjadi perhitungan sehari-hari antara makanan, air, dan obat-obatan, sesuatu selalu harus dikorbankan. Setiap hari, pilihannya menjadi makin mustahil," kata Ghazi al-Yazji, seorang dokter spesialis penyakit ginjal setempat di Rumah Sakit Al-Shifa, kepada Xinhua.
Munir Al-Bursh, direktur jenderal otoritas kesehatan di Gaza, memperingatkan bahwa nyawa puluhan pasien terancam akibat jumlah mesin dialisis yang sangat sedikit dan pasokan medis penting yang juga menipis.
"Bencana kesehatan yang dihadapi pasien gagal ginjal makin memburuk setiap harinya," tutur Al-Bursh. Blokade yang berkelanjutan dan larangan masuknya obat-obatan penyelamat nyawa berdampak sangat buruk terhadap pasien gagal ginjal biasa maupun kronis.
Abdullah al-Qishawi, kepala Departemen Nefrologi di Rumah Sakit Al-Shifa, mengungkapkan bahwa sebelum pecahnya konflik, sekitar 1.100 pasien gagal ginjal menerima perawatan dialisis. Dari jumlah tersebut, sekitar 416 orang di antaranya telah meninggal sejak pecahnya perang, terutama akibat tidak adanya perawatan yang layak.
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025