Jakarta (ANTARA) - Sunat perempuan masih menjadi topik yang kontroversial di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, sunat perempuan dipahami oleh sebagian komunitas sebagai bagian dari tradisi adat dan budaya yang telah diwariskan turun-temurun.
Mengutip informasi dari Komnas Perempuan, praktik ini sering dijumpai di beberapa wilayah pesisir. Selain sebagai tradisi, sebagian masyarakat percaya bahwa sunat perempuan juga merupakan bagian dari ajaran agama, meski metode sunat yang digunakan bisa bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Perbedaan pandangan antara regulasi internasional dan keyakinan budaya maupun agama membuat isu ini terus diperdebatkan. Lalu, bagaimana sebenarnya pandangan WHO tentang sunat perempuan?
WHO mendefinisikan mutilasi alat kelamin perempuan (Female Genital Mutilation/FGM) atau yang sering disebut sunat perempuan, sebagai segala prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin bagian luar perempuan atau cedera lainnya pada alat kelamin perempuan, yang dilakukan tanpa alasan medis.
FGM umumnya dilakukan pada anak perempuan antara usia bayi hingga 15 tahun. Dalam segala bentuk praktiknya, FGM dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi perempuan dan anak perempuan, termasuk hak mereka atas kesehatan, keamanan, dan martabat.
Baca juga: Apa itu sunat perempuan dan bagaimana praktiknya di Indonesia?
Jenis-jenis FGM
FGM dikategorikan menjadi empat jenis utama:
1. Tipe 1: Pengangkatan sebagian atau seluruh kelenjar klitoris (bagian luar dan tampak dari klitoris yang merupakan bagian sensitif dari alat kelamin perempuan) dan/atau prepus klitoris (kulit yang melingkupi klitoris).
2. Tipe 2: Pengangkatan sebagian atau seluruh kelenjar klitoris dan labia minora (lipatan dalam vulva), dengan atau tanpa pengangkatan labia majora (lipatan luar kulit vulva).
3. Tipe 3: Juga dikenal dengan infibulasi, yaitu penyempitan pembukaan vagina dengan cara membentuk penutup yang dihasilkan dengan memotong dan memposisikan ulang labia minora atau labia majora, kadang-kadang melalui jahitan, dengan atau tanpa pengangkatan prepus klitoris dan kelenjar klitoris.
4. Tipe 4: Meliputi prosedur lainnya yang merusak alat kelamin perempuan, seperti menusuk, melubangi, memotong, menggores, atau membakar area kelamin.
Di Indonesia, meskipun praktik sunat perempuan yang dilakukan cenderung lebih ringan seperti penggoresan atau pemotongan kecil pada bagian klitoris, beberapa bentuknya tetap masuk dalam kategori FGM menurut WHO. Hal itu termasuk ke dalam prosedur yang melibatkan pemotongan atau penggoresan jaringan genital perempuan, meskipun tidak seberat yang dilakukan pada tipe 3.
Baca juga: PP Aisyiyah pandang sunat perempuan banyak mudharat
Tidak ada manfaat kesehatan, hanya kerugian
Secara keseluruhan, FGM (Female Genital Mutilation) hanya membawa kerugian dengan tidak ada manfaat kesehatan. Proses ini merusak jaringan genital perempuan yang sehat dan mengganggu fungsi alami tubuh. Setiap jenis FGM dapat menyebabkan komplikasi kesehatan dan tindakan yang lebih besar cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi.
Komplikasi segera setelah FGM dapat mencakup:
- Nyeri hebat
- Perdarahan berlebihan
- Pembengkakan jaringan genital
- Demam
- Infeksi
- Masalah buang air kecil
- Kesulitan penyembuhan luka
- Cedera pada jaringan genital sekitar
- Syok dan kematian
Komplikasi jangka panjang termasuk:
- Masalah buang air kecil (misalnya infeksi saluran kemih)
- Gangguan menstruasi
- Jaringan parut dan keloid
- Masalah seksual (nyeri atau kepuasan berkurang)
- Risiko komplikasi saat melahirkan (kesulitan, perdarahan, caesar)
- Kebutuhan operasi lanjutan (seperti deinfibulasi)
- Masalah psikologis (depresi, kecemasan, harga diri rendah)
Baca juga: Aisyiyah: Tasyakuran haid pertama untuk imbangi kuatnya budaya P2GP
Baca juga: Jalan panjang memutus mata rantai praktik sunat perempuan
Pewarta: Allisa Luthfia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025