MUI: Ulama berperan dukung kemaslahatan melalui perbaikan kebijakan

1 month ago 18
Tugas dan kewajiban kita untuk memberikan penguatan jika kebijakan negara diambil untuk kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan syariah

Jakarta (ANTARA) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan bahwa negara yang mendukung kemaslahatan harus didukung oleh semua pihak, contohnya melalui perbaikan kebijakan atau islah dari para ulama bagi para pemimpin.

"Tugas dan kewajiban kita untuk memberikan penguatan jika kebijakan negara diambil untuk kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan syariah. Kabinet Merah Putih punya konsen tentang perwujudan kemaslahatan, seperti kebijakan MBG, Sekolah Rakyat, Sekolah Garuda, pemeriksaan kesehatan, dan program populis lainnya," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh di Jakarta Pusat, Sabtu.

Baca juga: Asrorun Ni'am dikukuhkan jadi Guru Besar Fikih UIN Jakarta

Dalam pembukaan International Annual Conference on Fatwa MUI Studies (ACFS) ke-9 di Hotel Sari Pacific, ia mengatakan bahwa kebijakan negara yang ditujukan untuk kemaslahatan, bisa jadi ternyata bertabrakan dengan aturan keagamaan, maka agama perlu hadir untuk mengingatkan dan memperbaiki agar kebijakan publik benar-benar maslahat.

“Di sinilah peran MUI dengan fatwa-fatwanya hadir dalam menjalankan tugas kemitraan dengan Pemerintah,” ujarnya.

Dia mencontohkan, momen fatwa MUI membetulkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan uji materi Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 43 ayat (1).

Baca juga: MUI: Pekan Makan Bergizi Santri wujud dukungan terhadap Program MBG

Dalam undang-undang tersebut, katanya, diatur kedudukan anak di luar pernikahan, hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya. Tentu ini sesuai dengan hukum fikih Islam.

"Lalu muncul Putusan MK di Februari 2012 yang mengubah norma dengan menetapkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan ayah biologisnya sepanjang dapat dibuktikan dengan teknologi. Ini jelas bertentangan dengan fikih, sementara putusan MK final dan binding, secara otomatis berlaku," katanya.

Karena itu, pihaknya hadir men-challenge dan mengoreksi, bahwa anak hasil zina tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya.

"Fatwa ini kemudian menjadi rujukan hakim Agama," dia menyebutkan.

Baca juga: PITI minta MUI perkuat pendidikan karakter di momen milad ke-50

Selain itu, katanya, pada 2012 MUI menetapkan fatwa bahwa wajib hukumnya taat kepada ulil amri, meski ketaatan tersebut tidak mutlak dan absolut.

"Begitu ulil amri merumuskan kebijakan, dan tasharufnya untuk kemaslahatan, wajib hukumnya taat. Tapi, ketaatan itu dengan tiga syarat. Tasharufnya tidak bertentangan dengan prinsip syariah, berorientasi pada kemaslahatan umum, dan jika terkait dengan substansi keagamaan, maka harus dimusyawarahkan dengan lembaga keagamaan yang berkompeten," dia melanjutkan.

Dia menjelaskan pula bahwa acara tersebut menjadi wadah untuk bertemu, bersinergi, saling menguatkan antara kekuatan negara dan agama.

"Saling dukung untuk mewujudkan kemaslahatan. Bagaimana praktik kenegaraan kita; apakah sudah mewujudkan kemaslahatan? Dan apakah agama sebagai pelita sudah optimal menyinari ulil amri? Jika terbukti mendatangkan maslahat dan tidak melanggar syariat harus didukung," katanya.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |