Merangkul komunitas difabel di Cirebon untuk mandiri dan berdikari

3 weeks ago 13

Cirebon (ANTARA) - Hidup sering kali memisahkan harapan dan kenyataan. Bagi Abdul Mujib kecil, hidup tampak seperti layar kaca yang tak bisa disentuh.

Dahulu, ia sering melihat anak-anak sebayanya pulang sekolah dengan tawa ceria, sementara dirinya hanya bisa duduk di pinggir jalan, ditemani tongkat yang setia menopang tubuhnya.

Di usianya yang masih belia, Mujib sudah memahami kalau dirinya berbeda. Perbedaan itu menjadi tembok yang memisahkan dirinya dari dunia luar.

Polio yang menyerang saat usianya dua tahun membuat kaki kanannya kehilangan tenaga, kecil sebelah, tak mampu menopang langkah seperti anak-anak lainnya.

Ketidaksempurnaan itu membuat keluarganya ragu untuk menyekolahkan Mujib, seolah pendidikan adalah kemewahan yang tak layak baginya kala itu.

Namun, tembok itu mulai retak ketika seorang guru sekolah dasar (SD) menghampiri Mujib yang kerap duduk termenung di depan sekolah. Sang guru bertanya, apakah ia ingin bersekolah?

Dalam kondisi yang penuh harap itu, dia membulatkan tekad untuk meraih pendidikan formal pertamanya.

“Akhirnya guru saya berinisiatif mendatangi keluarga saya. Kemudian dijelaskan bahwa saya ingin sekolah. Orang tua saya akhirnya memberikan izin untuk sekolah,” kata Mujib kepada ANTARA.

Dengan bantuan guru tersebut, keluarganya akhirnya mengizinkan Mujib untuk masuk sekolah meski terlambat.

Kendati demikian, rupanya dunia pendidikan tak lantas menyambutnya dengan tangan terbuka.

Keteguhan

Bangku sekolah menjadi arena pertarungan baru bagi Mujib. Olok-olok dari teman-temannya datang seperti badai yang tak kunjung reda.

Tongkat yang digunakannya kerap ditarik, langkahnya yang terpincang-pincang menjadi bahan tertawaan.

Di tengah kegetiran itu, ia menemukan cara untuk bertahan. Mujib membangun hubungan baik dengan anak-anak berpengaruh di sekolah, sehingga teman-teman yang suka merundung mulai menjaga jarak.

Lulus SD adalah pencapaian besar yang diraih dengan keringat dan air mata. Setelahnya, ia menapaki hidup dengan bekerja serabutan.

Mujib mengaku pernah bekerja di peternakan ayam, ikut pelatihan di panti sosial, hingga mencoba peruntungan di bidang lain. Namun, di panti sosial inilah kesadaran baru muncul.

“Saya baru sadar, yang difabel itu bukan hanya saya. Banyak teman-teman dengan kondisi yang lebih berat,” ujarnya.

Seorang seniman saat membuat lukisan mural terkait inklusivitas di Cirebon, Jawa Barat. (ANTARA/Fathnur Rohman)

Kesadaran itu menyulut rasa syukur dalam dirinya, meski pengalaman di panti tak sepenuhnya manis.

Bantuan yang diberikan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan nyata, membuat Mujib dan teman-teman difabel lainnya merasa diperlalukan seperti objek belaka.

Ia pun memutuskan untuk keluar dari panti tersebut, dengan tekad menjadi pribadi yang lebih baik.

Pria asal Desa Durajaya, Cirebon ini percaya bahwa kegagalan bukanlah alasan untuk menyerah. Dia tidak putus asa, justru kondisi itu menjadi cambuk baginya untuk terus melangkah maju.

Merangkul sesama

Pada 2004, Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Cirebon memberikan kepercayaan kepada Mujib sebagai instruktur pelatihan servis elektronik. Untungnya, dia memiliki keahlian tersebut.

Kesempatan ini menjadi pintu masuk baginya untuk mempelajari hal baru di hidupnya, yakni tentang keorganisasian dan membangun jaringan.

Setahun kemudian, ia mendirikan kelompok usaha bersama bernama Binangkit Jaya di Desa Durajaya. Nama itu menjadi simbol kebangkitan dari keterpurukan, sebuah harapan yang ia rajut bersama teman-temannya.

Lambat laun, kelompok ini berkembang pesat, merangkul sesama dengan kondisi serupa yakni orang-orang yang dijauhi lingkungan sekitar dan hidup dalam bayang-bayang stigma sosial.

Kelompok tersebut akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya, Forum Komunikasi Difabel Cirebon (FKDC) yang dipelopori oleh Mujib.

FKDC bersama Pemkab Cirebon saat menggelar peringatan Hari Disabilitas Internasional 2024 di Cirebon, Jawa Barat. (ANTARA/Fathnur Rohman)

Ia menjelaskan FKDC menjadi wadah bagi para difabel di Cirebon untuk menyuarakan aspirasi, bertukar pikiran, dan saling memberdayakan.

Namun demikian, perjalanan membangun forum ini tidak mudah. Banyak yang meragukan langkah Mujib, bahkan dari keluarganya sendiri.

“Mereka bilang pekerjaan ini tidak menghasilkan banyak uang. Tapi saya tetap yakin. Saya ingin membuktikan bahwa perjuangan ini berharga,” katanya.

Salah satu perjuangan besar FKDC adalah mendorong terwujudnya desa ramah difabel di Cirebon. Bagi Mujib, desa ramah difabel bukan sekadar slogan, melainkan konsep yang harus diterapkan dengan serius.

Menurutnya, desa ramah difabel itu ada indikatornya. Mulai dari data akurat tentang difabel, keterlibatan mereka dalam perencanaan kebijakan, hingga penganggaran untuk program inklusif.

Namun, realitas di lapangan sering kali tidak sesuai harapan. Banyak kebijakan desa yang ide-idenya hanya menyalin dari internet tanpa memahami kebutuhan nyata difabel.

FKDC pun berupaya memberikan edukasi kepada masyarakat serta aparat desa, agar lebih peka terhadap isu ini.

Di Desa Durajaya, misalnya, FKDC memanfaatkan potensi lokal berupa pisang, kemudian melatih para difabel membuat olahan makanan berupa keripik.

Di desa lain, mereka memberikan pelatihan budidaya ikan, pengelolaan bank sampah, hingga keterampilan menjahit.

Mujib menyebutkan semua upaya ini bertujuan agar difabel bisa bertahan hidup, serta mandiri secara ekonomi.

Kini, FKDC memiliki 285 anggota aktif, mendampingi sekitar 900 difabel, serta merangkul lebih dari 600 penyintas yang pernah mengalami kusta di Cirebon.

Mimpi yang dirintis

Stigma sosial menjadi tantangan terbesar yang dihadapi para difabel. Banyak yang dipandang sebelah mata, dianggap tidak mampu, bahkan dinilai sebagai beban oleh lingkungan sekitar.

FKDC rutin mengadakan kampanye, seminar, dan diskusi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya inklusi.

Mereka juga berkolaborasi dengan pemerintah daerah, mendorong keterlibatan difabel dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) tematik.

“Keterlibatan itu penting. Kalau difabel tidak dilibatkan, kebijakan yang dibuat tidak akan pernah tepat sasaran,” tegasnya.

Upaya menciptakan desa ramah disabilitas di Cirebon mulai dilaksanakan, meskipun realisasinya masih belum sempurna. Program ini dinilai mampu menjawab kebutuhan para difabel, yang menjadi salah satu kelompok rentan.

Ia menyampaikan kalau Pemkab Cirebon telah menerapkan program itu pada tiga desa di Kecamatan Lemahabang, tiga desa di Kecamatan Greged, dan satu desa di Kecamatan Astanajapura.

Pemkab Cirebon saat menyalurkan bantuan untuk kelompok difabel dalam peringatan Hari Disabilitas Internasional 2024 di Cirebon, Jawa Barat. (ANTARA/Fathnur Rohman)

Namun, penyusunan kebijakan ini masih menyisakan tantangan dalam implementasi. Meski beberapa desa telah memiliki data yang lebih terstruktur, indikator lain seperti keterlibatan aktif komunitas difabel dalam perencanaan program masih perlu ditingkatkan.

Kendati demikian, FKDC menilai pokok masalah paling dasar untuk memperjuangkan kesetaraan adalah dengan menyiapkan regulasi yang menjadi payung hukum bagi kelompok difabel.

Menariknya, lanjut Mujib, Pemkab Cirebon telah membuat payung hukum tersebut dengan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas.

“Saya selalu percaya, orang harus punya impian. Mau sesulit apa pun, kejar itu. Kalau kita tidak berusaha, bagaimana impian itu akan terwujud?” katanya.

Selain itu, dia menyampaikan momen Pilkada Jawa Barat 2024 sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk lebih mengedepankan isu disabilitas dalam agenda politik.

Hingga kini, perhatian terhadap kelompok difabel masih terkesan parsial, dengan keterlibatan mereka yang belum sepenuhnya maksimal.

Menurutnya, pengenalan isu disabilitas dalam konteks Pilkada Jawa Barat merupakan langkah awal yang baik, tetapi diharapkan tidak berhenti sebagai teori semata.

Ia berpandangan penyesuaian terhadap kebutuhan kelompok difabel pun mesti diperhatikan dalam pesta demokrasi itu. Pada tempat pemungutan suara, misalnya, masih dinilai kurang memadai.

Pintu masuk yang sempit serta ketiadaan kertas suara dengan huruf braille, menjadi tantangan yang belum diatasi secara maksimal.

“Meski begitu, sekarang yang harus difokuskan adalah memprioritaskan program ramah difabel. Tidak perlu dikhususkan, karena yang penting keberlanjutannya,” ucap Mujib.

Dukungan

Kabupaten Cirebon sedang melangkah menuju inklusi sosial yang lebih luas. Pemda setempat melalui berbagai programnya, kini memberi perhatian khusus pada komunitas difabel.

Momen Hari Disabilitas Internasional 2024, dimanfaatkan untuk menegaskan komitmen ini, dengan menghadirkan berbagai komunitas dan memperkenalkan langkah-langkah strategis demi meningkatkan kesejahteraan difabel.

Penjabat (Pj) Bupati Cirebon Wahyu Mijaya menuturkan salah satu program terobosan yang kini dijalankan adalah pengembangan desa ramah difabel.

Pada 2025, pihaknya bakal menambah cakupan program itu karena sekarang baru ada tujuh desa yang masuk kategori ramah difabel.

Desa-desa tersebut dirancang, untuk menyediakan aksesibilitas dan pelayanan yang lebih baik bagi warga difabel.

Selain fokus pada fasilitas fisik, program ini menyasar aspek pendidikan, keterampilan, dan kemandirian ekonomi.

Dengan langkah ini, Wahyu optimis kelompok difabel di Cirebon mendapatkan perhatian serta ruang untuk berkembang sesuai potensi mereka.

Pendataan pun menjadi bagian penting dalam program ini. Pemkab Cirebon menganggap data yang akurat sebagai kunci untuk merancang program yang efektif.

Oleh karena itu, masyarakat diajak berperan aktif dalam mendata anggota keluarga yang difabel, dengan keyakinan setiap individu memiliki kemampuan yang layak diapresiasi dan diberdayakan.

Merujuk laporan bertajuk Profil Perkembangan Kependudukan Provinsi Jawa Barat 2023, penduduk disabilitas atau difabel di Jabar jumlahnya kurang dari 0,2 persen dari seluruh penduduk di provinsi tersebut.

Berdasarkan jenis kelamin laporan tersebut merinci, untuk kategori laki-laki jumlah difabel sebanyak 41.794 orang dan perempuan tercatat 30.353 orang.

Sementara itu di Kabupaten Cirebon, rincian data terkait jumlah penduduk difabel belum tercatat dengan baik. Sehingga hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi Pemkab Cirebon, khususnya dinas terkait untuk segera diselesaikan.

Selain fokus pada komunitas difabel, pendekatan pembangunan Kabupaten Cirebon tahun ini juga menonjolkan tema inklusi lainnya.

Pemkab Cirebon menegaskan bahwa perempuan, anak, dan lansia menjadi kelompok yang mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.

Program pemberdayaan ekonomi untuk perempuan kepala keluarga, misalnya, dihadirkan untuk memastikan akses mereka terhadap peluang yang lebih baik.

Meski inisiatif ini masih dalam tahap awal, pemerintah terus berupaya meningkatkan fasilitas yang sudah ada, termasuk di kantor-kantor satuan perangkat daerah (SKPD).

Tujuannya jelas, yakni menjadikan inklusi sosial bukan hanya sebagai konsep belaka, tetapi kenyataan yang dirasakan oleh semua.

Kabupaten Cirebon masih berada di awal perjalanan panjang menuju daerah ramah difabel. Namun, dengan konsistensi serta perhatian yang terus ditingkatkan, harapan itu perlahan tapi pasti dapat diwujudkan.

Pada prinsipnya inklusivitas bukan sekadar kebutuhan teknis, melainkan wujud keadilan sosial yang semestinya hadir untuk semua.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |