Menteri Kebudayaan: Tone positif penulisan sejarah untuk persatuan

14 hours ago 7

Jakarta (ANTARA) - Menteri Kebudayaan Fadli Zon menilai nuansa (tone) positif dalam penulisan sejarah Indonesia ditujukan untuk persatuan bangsa, karena jika sebaliknya, maka yang ada ialah perpecahan.

Menurut Fadli, penulisan sejarah menjadi tak lagi penting manakala memecah-belah bangsa.

“Jadi, kita tentu tone-nya itu adalah dalam sejarah untuk mempersatukan kebenaran bangsa. Untuk apa kita menulis sejarah untuk memecah-belah bangsa,” kata Fadli menjawab pertanyaan wartawan saat dia ditemui pada sela-sela kegiatannya di Jakarta, Jumat (6/6).

Fadli kemudian menjelaskan maksud tone positif dalam penulisan sejarah, yang artinya tidak mencari-cari kesalahan masa lalu.

“Di masa-masa itu, pasti ada kelebihan, ada kekurangan. Ini kan juga lebih banyak highlight ya, lebih banyak garis besar. Kita ingin menonjolkan pencapaian-pencapaian, prestasi-prestasi, prioritas-prioritas, dan juga peristiwa-peristiwa pada zaman (lampau) itu,” kata Fadli Zon.

Dalam kesempatan yang sama, Fadli juga merespons kekhawatiran sejumlah kelompok akademisi dan aktivis yang khawatir proyek penulisan sejarah itu akan menjadikan hanya ada satu narasi sejarah resmi yang dianggap benar.

Menurut Fadli, kekhawatiran itu tak perlu ada, karena proyek penulisan sejarah yang diinisiasi pemerintah, dikerjakan oleh para sejarawan dari berbagai kampus ternama di Indonesia.

“Jadi, yang menulis bukan aktivis, bukan politikus. Yang menulis sejarawan, sejarawan ini punya keahlian. Mereka doktornya di bidang itu, profesornya di bidang itu. Jadi, kita tidak perlu khawatir, pasti (mereka) punya kompetensi dalam menulis sejarah,” kata Menteri Kebudayaan.

Dia melanjutkan justru menjadi mengkhawatirkan manakala proyek penulisan sejarah Indonesia dikerjakan oleh para aktivis yang punya perspektifnya masing-masing.

“Sejarah tidak bisa ditulis oleh politikus, apalagi yang resmi, atau semacam itu. Tidak bisa ditulis oleh misalnya (pihak lain non-sejarawan). Tetapi, kalau orang mau menulis sejarahnya sendiri-sendiri juga bebas, ini negeri demokrasi,” sambung Fadli.

Menteri Kebudayaan kemudian menekankan penulisan sejarah bangsa merupakan program prioritasnya sejak awal menjabat, karena sudah terlalu lama tidak ada pembaharuan (update) dalam sejarah Indonesia. Padahal, ada banyak temuan-temuan yang seharusnya masuk dalam kompendium sejarah Indonesia.

“Jadi, sudah lebih dari 26 tahun kita tidak pernah menulis sejarah kita. Jadi, kalau ada yang baru, ya banyak yang baru, karena memang tidak pernah ditulis. Belum lagi, yang sifatnya penemuan-penemuan, updating. Contohnya, lukisan purba tertua di dunia itu sekarang ada di Indonesia. Itu tidak ada dalam sejarah kita,” kata Fadli.

Dia kemudian mencontohkan adanya temuan Islam masuk Indonesia ternyata dari Abad Ke-7 Masehi, atau Abad Ke-1 Hijriah.

“Ini bisa meng-update sejarah kita yang selama ini mengatakan Islam masuk itu Abad Ke-13. Itu beda 600 tahun sendiri. Belum lagi dari sisi zaman perlawanan kita kalau ada Kolonial Belanda, kita ingin perspektifnya itu menekankan kepada sejarah perlawanan para pahlawan kita terhadap penjajah. Jadi, bukan hanya sekadar dikatakan kita dijajah 350 tahun, tetapi kita ingin ada justru ditonjolkan Indonesia-centric, perlawanan kita kepada kolonial, kepada penjajah,” ujar Fadli.

Baca juga: Fadli Zon: Anggaran Rp9 miliar untuk penulisan ulang sejarah disetujui

Baca juga: Komisi X DPR minta penulisan ulang sejarah tidak gunakan istilah resmi

Baca juga: Menteri Kebudayaan buka ruang diskusi soal penulisan ulang sejarah

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |