Menjaga nurani di balik seragam

3 hours ago 2
Kekuasaan tanpa kendali nurani adalah bahaya terbesar bagi hukum, kemanusiaan, dan negara hukum itu sendiri

Mataram (ANTARA) - Malam itu, Gili Trawangan, Lombok, yang biasa ramai oleh wisatawan justru menelan kabar duka. Seorang anggota polisi, Brigadir Muhammad Nurhadi, ditemukan tak bernyawa di kolam renang vila tempatnya menginap.

Bukan kematian biasa. Dari hasil penyelidikan terungkap bahwa sebelum ajal menjemputnya, ada kekerasan yang mendahuluinya.

Tiga nama muncul sebagai tersangka, dua di antaranya perwira polisi, yakni Kompol I Made Yogi Purusa Utama dan Ipda Haris Chandra. Satu nama lain, Misri Puspita Sari, perempuan yang disebut berada di lokasi kejadian, kini menghadapi pasal menghalangi penyidikan (obstruction of justice).

Kabar itu mengguncang. Bukan hanya karena pelaku dan korban sama-sama berseragam, tetapi karena ia menyentuh titik paling sensitif dalam tubuh Polri, yakni moral aparat penegak hukum.

Di tengah upaya keras Polri membangun kembali kepercayaan publik setelah berbagai kasus penyimpangan etik dan kekerasan, kematian Nurhadi menjadi cermin pahit bahwa integritas belum bisa dijaga sepenuhnya.

Sidang perdana dua perwira itu dijadwalkan pada 27 Oktober 2025 di Pengadilan Negeri Mataram. Publik menaruh harapan besar agar persidangan ini tidak hanya menuntaskan kasus hukum, tetapi juga membuka ruang bagi keadilan moral.

Sebab masyarakat tidak sekadar menunggu hukuman dijatuhkan, melainkan mereka menunggu bukti bahwa lembaga penegak hukum masih punya nurani untuk membersihkan dirinya sendiri.


Kepercayaan publik

Kasus Brigadir Nurhadi bukan insiden tunggal. Dalam beberapa tahun terakhir, publik disuguhi rentetan kasus yang melibatkan oknum aparat mulai dari kekerasan internal, pelanggaran etik, hingga tindak pidana berat.

Reformasi Polri sebenarnya telah berjalan dengan berbagai langkah nyata, mulai dari pembaruan kurikulum pendidikan, penguatan sistem pengawasan internal, hingga penerapan kode etik digital bagi seluruh anggota.

Namun, sebagaimana terbukti lewat kasus ini, moral kelembagaan tidak bisa diukur hanya dari banyaknya aturan, melainkan dari konsistensi perilaku anggota di lapangan.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Sari Yuliati dalam kunjungan reses di Mataram, awal Oktober lalu, menegaskan bahwa proses hukum dua perwira itu berjalan sesuai prosedur. Ia mengapresiasi kerja penyidik dan jaksa yang dianggap telah menjalankan SOP. Tetapi kepatuhan administratif bukanlah akhir dari keadilan. Ia baru awal.

Ketika penegak hukum menjadi bagian dari pelanggaran hukum, luka yang timbul tidak sekadar personal, melainkan institusional. Masyarakat yang mempercayakan hidupnya pada perlindungan aparat, tiba-tiba dipaksa melihat bahwa pelindung itu bisa juga menjadi pelaku.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |