Yangon (ANTARA) - Di lahan seluas sekitar 28 hektare di Kamp Gajah Wingabaw di Bago, Myanmar, hujan rintik-rintik membasahi tanah dan melapisi pohon-pohon dengan tetesan air yang berkilauan, menciptakan latar belakang yang sempurna untuk perayaan Hari Gajah Sedunia pada Selasa (12/8).
Wingabaw merupakan satu dari 20 lebih kamp konservasi gajah di Myanmar yang berada di bawah program Pariwisata Berbasis Konservasi Gajah (Elephant Conservation-Based Tourism/ECBT). Pada Selasa pagi waktu setempat, para mahout atau pawang gajah telah menyiapkan hidangan spesial untuk para penghuni kamp, yang terdiri dari dua gajah jantan, lima gajah betina, dan satu bayi gajah betina.
Di Wingabaw, konservasi gajah bukan hanya tentang menyelamatkan sebuah spesies. Ini juga tentang meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, kata U Myint Soe, seorang staf di kamp tersebut, pada Selasa.
Tujuan utama dari kamp-kamp ECBT adalah untuk mempromosikan pariwisata berbasis alam yang berfokus pada perawatan dan konservasi gajah sembari memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk berinteraksi dari jarak dekat dengan gajah dan menumbuhkan rasa cinta, hormat, dan apresiasi terhadap mereka, katanya. Kamp-kamp ini juga memainkan peran penting dalam melindungi habitat gajah dan menjaga hutan, gunung, sungai, dan lahan basah.

Selain itu, kamp-kamp tersebut menciptakan peluang kerja bagi para mahout dan masyarakat setempat, serta menghasilkan pendapatan bagi departemen itu melalui kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara. Hal ini tidak hanya mendukung upaya konservasi, tetapi juga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi hijau, kata pejabat tersebut. Kepala mahout kamp tersebut, Khaing Win (35), telah bekerja dengan gajah selama lebih dari satu dekade. "Saya tertarik pada gajah sejak kecil," katanya. "Sebagai mahout, kita membutuhkan kesabaran dan kebaikan hati."
Berdasarkan data resmi, hingga 2024, Myanmar menjadi rumah bagi lebih dari 6.000 gajah, dengan sekitar 3.200 di antaranya merupakan gajah milik negara yang sudah dijinakkan dan ditempatkan di 23 kamp konservasi gajah.
Para pengunjung dapat berinteraksi dengan gajah di kamp dalam lingkungan alami mereka, yang sekaligus mendanai perawatan gajah dan mendukung keluarga-keluarga setempat.
Di antara para pengunjung kamp Wingabaw pada Selasa, terdapat Ko Arkar (33), yang menemani putranya yang berusia dua tahun sementara istrinya memberikan semangka kepada gajah. "Anak saya sangat menyukai gajah. Dia bahkan mengenakan kaus bertema gajah," katanya sambil tersenyum.
Suasana ramah keluarga di kamp tersebut merupakan salah satu daya tariknya. "Kita bisa memberi makan gajah, menyentuh mereka. Saya senang menunggang dan memberi makan gajah," imbuh Ko Arkar, seraya menyebutkan sifat jinak gajah-gajah tersebut dibandingkan dengan gajah liar.

Kepala mahout kamp tersebut, Khaing Win (35), telah bekerja dengan gajah selama lebih dari satu dekade. "Saya tertarik pada gajah sejak kecil," katanya. "Sebagai mahout, kita membutuhkan kesabaran dan kebaikan hati." Bagi mahout Aung Sithu Kyaw (36), Pearl Sint sudah seperti anak perempuannya sendiri. Kyaw Pearl, kembaran Pearl Sint, mati pada Juli lalu. "Sejak dia (Pearl Sint) lahir, saya telah memberikan obat dan makanan kepada dia dan induknya. Saya merawatnya seperti anak sendiri," katanya lembut.
Didirikan pada 2016 dengan hanya tiga gajah, kamp itu kini menjadi pusat pariwisata dan konservasi. Para tamu dapat memberi makan gajah, menonton pertunjukan kecil, dan menikmati perjalanan singkat pada pagi atau sore hari, kata U Myint Soe.
Museum gajah di lokasi tersebut memberikan edukasi kepada pengunjung, sementara dokter hewan internal memastikan setiap gajah tetap sehat dan terawat dengan baik, memperkuat komitmen kamp tersebut terhadap kesejahteraan dan pelestarian hewan, imbuhnya.
Pada Agustus tahun lalu, kamp tersebut menarik perhatian dari lebih banyak orang berkat kelahiran gajah kembar, yang merupakan peristiwa langka. Gajah betina yang lebih tua diberi nama Pearl Sint, sedangkan gajah jantan yang lebih muda dinamakan Kyaw Pearl. Induk mereka, Pearl Sandar yang berusia 22 tahun, dikenal dengan sifatnya yang sangat lembut.

Bagi mahout Aung Sithu Kyaw (36), Pearl Sint sudah seperti anak perempuannya sendiri. Kyaw Pearl, kembaran Pearl Sint, mati pada Juli lalu. "Sejak dia (Pearl Sint) lahir, saya telah memberikan obat dan makanan kepada dia dan induknya. Saya merawatnya seperti anak sendiri," katanya lembut
Para mahout memulai aktivitas mereka pagi-pagi sekali, membawa gajah-gajah ke sungai terdekat untuk mandi. Mereka membersihkan kulit gajah sebelum menyiapkan makanan berupa rumput, buah-buahan, dan tebu untuk hari itu.
Tidak semua gajah di sini dapat berkeliaran dengan bebas. Hla Moe Swe, seekor gajah betina yang tenang namun tampak selalu berhati-hati, mengalami kebutaan sejak lahir. Pengasuhnya, Thein Soe Naing (26), telah membimbingnya dengan hati-hati selama tiga tahun terakhir.
Dia dengan sabar membimbing gajah betina itu menjauhi tebing dan parit, serta tiang-tiang yang mungkin dia tabrak. "Anda tidak bisa memaksa mereka untuk memercayai Anda. Anda harus sabar, menunjukkan kebaikan hati, dan menghabiskan bertahun-tahun bersama mereka."
Penerjemah: Xinhua
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.