Mengapa Sarawak dan Sabah jadi milik Malaysia? Ini sejarahnya

3 hours ago 3

Jakarta (ANTARA) - Pembentukan Federasi Malaysia pada 16 September 1963 merupakan momen bersejarah yang melibatkan penyatuan beberapa entitas politik, termasuk Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah.

Proses itu tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui serangkaian perundingan, konsultasi, serta berbagai faktor politik dan ekonomi yang melatarbelakanginya. Artikel ini akan mengupas secara mendalam mengapa Sarawak dan Sabah memilih bergabung dengan Malaysia dan bagaimana proses tersebut berlangsung.

Latar belakang proposal pembentukan Malaysia


Pada 27 Mei 1961, Perdana Menteri Malaya, Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj, mengusulkan pembentukan Federasi Malaysia sebagai langkah untuk mempererat kerja sama politik dan ekonomi antara Malaya, Singapura, Sarawak, Sabah (yang saat itu dikenal sebagai Kalimantan Utara), dan Brunei.

Usulan ini mendapat dukungan dari Perdana Menteri Inggris, Sir Harold Macmillan, yang melihat integrasi ini sebagai jalan menuju stabilitas di kawasan Asia Tenggara pasca kolonialisme.

Sebagai bagian dari upaya konsultasi, Komite Konsultatif Solidaritas Malaysia (Malaysia Solidarity Consultative Committee/MSCC) dibentuk dan melakukan pertemuan pertama di Singapura dua bulan setelah usulan awal Tunku Abdul Rahman.

Kemudian, pada 12 Agustus 1962, para pemimpin dari Sarawak dan Sabah mengunjungi Malaya untuk memahami lebih lanjut tentang gagasan tersebut. Kunjungan ini menjadi titik balik penting dalam keputusan Sarawak dan Sabah untuk bergabung dalam Federasi Malaysia.

Referendum dan kesepakatan pembentukan Malaysia

Untuk memastikan aspirasi masyarakat Sarawak dan Sabah, Inggris dan Malaya membentuk Komisi Cobbold yang dipimpin oleh Lord Cameron Cobbold.

Komisi ini terdiri dari lima anggota—dua dari Malaya dan tiga dari Inggris—dan bertugas mengadakan jajak pendapat terhadap penduduk di Sarawak dan Sabah mengenai keinginan mereka untuk bergabung dengan Federasi Malaysia. Hasil temuan Komisi Cobbold menjadi dasar bagi Perjanjian Malaysia yang ditandatangani pada 9 Juli 1963 oleh Malaya, Inggris, Sabah, Sarawak, dan Singapura.

Sarawak dan Sabah mengajukan syarat khusus sebelum bergabung dengan Malaysia, yang dituangkan dalam 20 butir persyaratan bagi Sabah dan 18 butir persyaratan bagi Sarawak. Syarat ini bertujuan untuk menjamin hak-hak serta otonomi masyarakat di kedua wilayah tersebut setelah bergabung dalam Malaysia.

Pada 22 Juli 1963, Sarawak mencapai status pemerintahan sendiri dengan pembentukan Supreme Council yang dipimpin oleh Ketua Menteri pertama, Stephen Kalong Ningkan. Kemudian, pada 29 Agustus 1963, Yang di-Pertuan Agong menandatangani Deklarasi Malaysia, yang disetujui oleh Dewan Legislatif Sarawak pada 4 September 1963 dengan hasil 38 suara mendukung dan 5 menolak.

Pada 16 September 1963, Menteri Pendidikan Malaysia, Khir Johari, membacakan Proklamasi Malaysia di Padang Sentral, Kuching, disaksikan oleh Datu Abang Haji Openg (Yang di-Pertua Negeri Sarawak pertama), Stephen Kalong Ningkan (Ketua Menteri Sarawak), anggota kabinet negara bagian, dan masyarakat Sarawak. Pada saat itu, Sarawak dan Sabah resmi menjadi bagian dari Malaysia.

Keistimewaan dan otonomi Sarawak dan Sabah dalam Malaysia

Sebagai bagian dari kesepakatan, Sarawak dan Sabah memperoleh beberapa hak istimewa yang tidak dimiliki oleh negara bagian lain di Malaysia, di antaranya:

  1. Kebijakan imigrasi khusus: Penduduk dari Semenanjung Malaya harus memiliki izin khusus untuk memasuki Sarawak dan Sabah, sedangkan penduduk Sarawak dan Sabah dapat bepergian ke Semenanjung tanpa batasan serupa.
  2. Agama resmi: Tidak seperti di Semenanjung, Islam tidak dijadikan agama resmi di Sarawak dan Sabah.
  3. Bahasa resmi: Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi, tetapi bahasa Inggris tetap digunakan secara luas dalam administrasi pemerintah di Sarawak dan Sabah hingga tahun-tahun berikutnya.
  4. Hak adat pribumi: Masyarakat asli seperti Dayak di Sarawak dan Kadazan-Dusun di Sabah mendapat perlindungan khusus terhadap tanah adat dan hak-hak budaya mereka.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Proses pembentukan Federasi Malaysia tidak lepas dari tantangan, terutama dari Indonesia yang menentang keras rencana tersebut. Presiden Sukarno menuduh Malaysia sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang bertujuan untuk memperpanjang dominasi kolonial di Asia Tenggara.

Selain itu, Indonesia mengklaim bahwa pembentukan Malaysia merupakan ancaman bagi kepentingan nasionalnya, terutama karena Inggris tetap memiliki pangkalan militer di Singapura pasca pembentukan Malaysia.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia berlangsung selama tiga tahun (1963–1966) dan melibatkan berbagai bentuk agresi, termasuk infiltrasi militer Indonesia ke Sarawak dan Sabah.

Konflik ini akhirnya mereda setelah peristiwa G30S/PKI di Indonesia, yang mengguncang politik domestik dan menggeser fokus pemerintah Indonesia dari konfrontasi ke stabilisasi internal.

Keputusan Sarawak dan Sabah untuk bergabung dengan Malaysia bukanlah hasil dari paksaan, melainkan melalui berbagai konsultasi, jajak pendapat, serta pertimbangan ekonomi dan politik.

Dengan adanya jaminan otonomi dalam berbagai aspek, Sarawak dan Sabah memilih untuk menjadi bagian dari Malaysia sebagai jalan menuju kestabilan dan pembangunan yang lebih baik. Namun, dinamika hubungan antara kedua negara bagian ini dengan pemerintah pusat Malaysia tetap menjadi topik yang terus berkembang seiring waktu.

Baca juga: Menteri UMKM buka peluang perluasan akses pasar UMKM ke Malaysia

Baca juga: Kala alam Taman Nasional Gunung Mulu di Sarawak memanggil

Baca juga: Kalbar cegah masuknya daging ilegal dan virus ASF di perbatasan

Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |