Jakarta (ANTARA) - Indonesia bukan sekadar negara kepulauan, tetapi juga negara desa. Sekitar 84.000 lebih desa tersebar di seluruh Nusantara, menjadi denyut nadi kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya bangsa.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 43 persen penduduk Indonesia atau sekitar 122 juta orang tinggal di wilayah perdesaan, menjadikan desa bukan lagi sekadar "wilayah pinggiran", melainkan elemen vital dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Namun, membangun desa bukan sekadar soal menyalurkan anggaran. Yang tak kalah penting adalah bagaimana kita memahami desa secara utuh, potensinya, masalahnya, hingga dinamika sosial yang terjadi di dalamnya.
Selama hampir satu dekade terakhir, desa telah menerima aliran dana desa dalam jumlah besar. Dari tahun 2015 hingga 2024, lebih dari Rp600 triliun telah dikucurkan ke desa-desa di seluruh Indonesia.
Meskipun begitu, berbagai tantangan masih menyelimuti kehidupan masyarakat pedesaan. Jalan mungkin sudah dibangun, tetapi akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan peluang ekonomi masih belum merata. Tidak jarang, program pembangunan yang dilaksanakan kurang tepat sasaran karena tidak didasarkan pada kebutuhan riil warga.
Di sinilah pentingnya pendekatan berbasis data, pembangunan yang bertumpu pada informasi faktual, bukan asumsi.
Transformasi paradigma pembangunan desa mulai berubah sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa bukan lagi sekadar objek penerima program, melainkan aktor utama yang menentukan arah pembangunannya sendiri.
Pemerintah pusat kini berperan sebagai fasilitator dan penyedia kerangka kerja serta dana, sementara implementasi sepenuhnya berada di tangan pemerintah dan masyarakat desa.
Untuk memastikan pembangunan benar-benar menjawab kebutuhan warga, data yang akurat, mutakhir, dan dimiliki langsung oleh desa menjadi kebutuhan mutlak. Pembangunan desa berbasis data memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih cermat dan responsif. Dengan data, desa dapat menentukan prioritas pembangunan dengan lebih tepat, apakah dana desa sebaiknya difokuskan pada perbaikan infrastruktur jalan, peningkatan layanan air bersih, pengembangan usaha mikro dan kecil, atau program ketahanan pangan lokal.
Salah satu tantangan utama di banyak desa adalah ketiadaan sistem pencatatan yang baik. Informasi penting seperti jumlah penduduk, kondisi fasilitas umum, potensi ekonomi lokal, hingga status pendidikan dan kesehatan warga sering kali tidak terdokumentasikan secara sistematis. Untuk menjawab tantangan tersebut, lahirlah Sistem Informasi Desa (SID), sebuah inovasi teknologi yang dirancang untuk membantu desa mengelola data mereka secara mandiri.
SID bukan hanya alat bantu administrasi, tetapi instrumen strategis yang mendorong tata kelola desa yang lebih terbuka, partisipatif, dan berbasis bukti. Melalui SID, desa dapat menghimpun dan mengelola berbagai data penting yang sebelumnya tercecer atau tidak terorganisasi. Informasi tersebut kemudian menjadi dasar dalam menyusun rencana pembangunan, menetapkan anggaran, serta mengevaluasi dampak dari program-program yang dijalankan.
Lebih dari itu, SID membantu desa mengenali kekuatan dan tantangan mereka sendiri. Ketika data tersedia dan diperbarui secara berkala, proses pengambilan keputusan tidak lagi bersifat spekulatif, melainkan berdasarkan fakta di lapangan. Dalam jangka panjang, SID dapat menjadi fondasi menuju kemandirian desa yang inklusif dan berkelanjutan.
Meski demikian, tidak semua desa memiliki kapasitas untuk mengelola data secara optimal. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), saat ini baru sekitar 60 persen desa yang telah terhubung dengan SID dan aktif memanfaatkannya. Artinya, ada sekitar 33.000 desa lainnya yang masih perlu didorong untuk melakukan digitalisasi data dan memperkuat kapasitas literasi digital perangkat desanya.
Contoh konkret bisa dilihat dari Desa Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta. Melalui sistem informasi yang dikelola secara partisipatif, desa ini berhasil mengintegrasikan data sosial dan ekonomi untuk menyusun program yang sesuai kebutuhan warganya. Dari pengelolaan sampah, pertanian organik, hingga koperasi desa semuanya berbasis data dan transparansi.
Namun, untuk mereplikasi praktik baik ini, desa-desa lain memerlukan dukungan kapasitas. Penguatan literasi data bagi perangkat desa, pelatihan teknologi informasi, hingga pendampingan oleh akademisi dan sektor swasta menjadi sangat penting.
Data desa bukan hanya alat teknokratik, tetapi juga instrumen demokrasi dan pemerataan. Dalam visi pembangunan nasional yang dirumuskan melalui Nawa Cita dan kini diteruskan menjadi Asta Cita, pembangunan dari pinggiran menempati posisi strategis. Salah satu dari delapan cita-cita tersebut, yakni Asta Cita ke-6, menekankan pentingnya membangun dari desa dan dari bawah, demi pertumbuhan yang merata dan pengentasan kemiskinan.
Data menjadi sangat penting dalam konteks ini. Ketika desa mampu memetakan kemiskinan secara akurat, maka program-program seperti BLT Dana Desa, subsidi pupuk, atau padat karya tunai bisa disalurkan dengan lebih tepat sasaran.
BPS mencatat tingkat kemiskinan di perdesaan per September 2024 masih mencapai 11,34 persen, jauh di atas tingkat kemiskinan di perkotaan yang sebesar 6,66 persen. Ketimpangan ini tidak bisa diatasi dengan pendekatan seragam, melainkan dengan kebijakan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal.
Selain untuk mengatasi ketimpangan, data juga bisa membuka potensi ekonomi desa. Misalnya, sektor pertanian, perikanan, pariwisata lokal, dan UMKM, semuanya memerlukan basis data untuk tumbuh dan berkembang. Program Desa Wisata yang digagas Kemenparekraf, misalnya, sangat bergantung pada pemetaan potensi lokal. Desa-desa seperti Candirejo di Gunungkidul atau Nglarang Sidoarum di Sleman bisa berkembang menjadi destinasi unggulan karena mereka mampu mendefinisikan kekuatan lokal secara data-driven.
Begitu pula dengan UMKM desa. Tanpa data pasar, kapasitas produksi, hingga akses pembiayaan, sulit bagi usaha mikro untuk naik kelas. Menurut data Kemenkop UKM, 99 persen pelaku UMKM di desa masih berada di sektor informal dan skala mikro. Transformasi mereka perlu dimulai dari pemetaan yang akurat.
Namun data bukan hanya milik pemerintah desa. Masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam proses pendataan. Ketika warga ikut menyusun, memverifikasi, dan memanfaatkan data, maka transparansi dan rasa memiliki terhadap proses pembangunan akan meningkat. Partisipasi warga juga menjadi benteng terhadap potensi manipulasi data dan penyalahgunaan anggaran.
Ke depan, desa tidak cukup hanya mengumpulkan data. Mereka juga harus mampu membaca, mengelola, dan mengolahnya menjadi informasi strategis. Artinya, kapasitas literasi digital perlu diperkuat. Tak cukup hanya dengan komputer dan koneksi internet, tetapi juga SDM yang cakap teknologi dan berpikiran terbuka. Pemerintah pusat dan daerah perlu mempercepat program penguatan kapasitas desa berbasis teknologi. Salah satu jalurnya bisa melalui kolaborasi dengan perguruan tinggi, dunia usaha, dan LSM lokal.
Data bukan hanya deretan angka. Ia adalah potret kehidupan warga, cermin harapan, dan fondasi bagi masa depan desa. Bila setiap desa di Indonesia memiliki data yang andal dan akurat, maka desa-desa tersebut akan lebih siap menghadapi tantangan, lebih adil dalam kebijakan, dan lebih mampu mewujudkan kesejahteraan nyata bagi warganya. Karena sejatinya, mewujudkan Asta Cita tak bisa tanpa desa, dan membangun desa tak bisa tanpa data.
*) Dr. Nenden Budiarti, S.ST., S.E., M.Si. adalah Statistisi Ahli Muda Direktorat Statistik Ketahanan Sosial, Badan Pusat Statistik (BPS)
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.