Masyarakat Madura melestarikan tradisi "tellasan katopa'"

4 hours ago 2
Pemerintah daerah lain di Madura, seperti Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan, sebetulnya bisa menggelar festival serupa yang sekaligus memancing wisatawan untuk datang menikmati masa libur Lebaran.

Pamekasan (ANTARA) - Sejumlah perempuan di sebuah dusun di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur, Jumat (4/4/2025) malam berkumpul sambil menganyam daun kelapa atau daun pohon siwalan untuk dijadikan selongsong ketupat.

Para perempuan di Dusun Petang, Desa Lancar, Kecamatan Larangan, Pamekasan, itu sedang mempersiapkan datangnya lebaran ketupat, yang dalam bahasa Madura disebut sebagai tellasan katopa'. Tellasan bermakna hari raya, sedangkan katopa' atau topa' adalah ketupat.

Mengandalkan kelincahan sepuluh jari di tangan kanan dan kiri, para perempuan itu bekerja sambil memperbincangkan kehidupan keluarganya secara santai dan tidak terjebak pada perilaku "ghibah" atau memperbincangkan kekurangan dan kesalahan orang lain.

Keluarga itu membuat anyaman ketupat lebih awal atau sebelum tanggal 8 Syawal pada kalender Hijriah, karena keluarganya yang mudik ada yang akan kembali ke perantauan lebih awal untuk kembali bekerja.

Kalau pada 2025 ini Idul Fitri jatuh pada Senin (31/3), maka tellasan katopa dirayakan juga pada hari yang sama sepekan setelah Lebaran, Senin (7/3).

Baca juga: Mengenal tradisi Idul Fitri di perdesaan Pulau Madura

Biasanya, kaum perempuan di Madura membuat selongsong ketupat pada siang hari, yakni satu hari sebelum hari tellasan katopa', dan dimasak pada malam harinya.

Dengan dimasak pada malam hari, pada hari H tellasan katopa', kaum perempuan melaksanakan tradisi ter-ater (antar-antar) makanan dari ketupat sejak pagi hari ke tetangga dan kerabat dekat. Untuk keluarga yang tinggalnya lebih jauh, biasanya ter-ater dilakukan pada siang hingga malam hari.

Kalau di daerah lain, ketupat identik dengan lauk opor, tradisi di Madura umumnya menyandingkan ketupat dengan soto ayam. Meskipun demikian, karena pengaruh zaman, masyarakat Madura mulai mengadaptasi masakan opor yang berbahan dasar dari tahu tempe dengan santan kelapa itu.

Demikian juga dengan ketupat. Masyarakat Madura tidak hanya terpaku pada ketupat dengan selongsong daun kelapa atau siwalan. Mungkin karena alasan praktis, mereka juga ada yang membuat makanan sejenis itu, yakni lontong, dengan selongsong dari daun pisang.

Di sisi lain, ketika kaum perempuan menyelesaikan pembuatan selongsong ketupat, kaum laki-laki di emperan rumah yang luas itu juga berkumpul sambil menikmati minuman kopi dan jajanan yang disajikan dalam toples. Maklum, malam itu masih dalam suasana Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran.

Tellasan katopa' merupakan tradisi kuno yang mungkin sudah melintasi ratusan generasi atau sekitar 500 tahun lalu, yang kini masih dilestarikan oleh masyarakat Madura. Masyarakat Madura selama ini memang dikenal kuat memegang teguh ajaran agama Islam dan melestarikan tradisi lokal.

Tellasan katopa' memang khas ada di masyarakat di Pulau Madura, baik yang masih tinggal di pulau itu maupun yang sudah bermigrasi ke daerah lain di luar pulau yang dulu dikenal sebagai Pulau Garam, tempat tradisi karapan sapi tumbuh dan lestari.

Meskipun kehidupan di pulau yang masyarakatnya dikenal sebagai pekerja keras dan ulet itu agamis, bukan berarti tellasan katopa' merupakan kebiasaan dalam agama Islam, apalagi dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Saw.

Bukan hanya tradisi perayaannya yang tidak ada dalam sejarah Islam yang dilakukan oleh Rasulullah, jenis makanan yang disediakan untuk perayaan lebaran itu juga tidak terkait dengan sejarah praktik keberislaman Nabi Muhammad Saw, karena masyarakat di negara Arab tidak mengenal makanan bernama ketupat.

Tidak ada literatur khusus mengenai sejarah dan filosofi dari tellasan katopa' yang dirayakan oleh masyarakat dengan budaya dan berkomunikasi dengan bahasa Madura itu.

Beberapa sesepuh Madura hanya menjelaskan bahwa tellasan ini merupakan ranah perayaan kegembiraan bagi umat Islam yang mengerjakan puasa sunah Syawal selama 6 hari, yakni dari tanggal 2 hingga 7 Syawal, setelah mereka menyelesaikan puasa Ramadhan selama satu bulan, yang kemudian dirayakan dengan Idul Fitri.

Hanya saja, leluhur di Madura tidak melarang mereka yang tidak mengerjakan puasa sunah Syawal untuk ikut menikmati tellasan katopa'.

Tellasan katopa' adalah tradisi terbuka untuk merayakan kebahagiaan, sekaligus merajut kebersamaan dalam jalinan kekerabatan dan kemasyarakatan.

Selain untuk perayaan, tellasan katopa' juga memiliki nilai sosial yang kuat karena ada tradisi saling berbagi yang menyertai perayaan atas "keberhasilan" menjalani ibadah sunah puasa 6 hari itu.

Pada perayaan Idul Fitri, saling berkunjung ke rumah orang lain untuk saling bermaafan dan berbagi makanan, biasanya berlangsung selama 7 hari. Tradisi itu dimulai pada hari H Idul Fitri, yakni setelah masyarakat melaksanakan ibadah sunah Shalat Id, mereka saling berkunjung ke rumah saudara dan tetangganya.

Karena saling berkunjung itu tidak selesai dilakukan dalam satu hari, maka kemudian dilanjutkan pada esok hari atau bahkan, beberapa hari setelahnya, kemudian berakhir setelah tellasan katopa'. Karena dilaksanakan pada hari ketujuh setelah Idul Fitri, maka tellasan katopa' juga biasa disebut sebagai tellasan petto' (tujuh).

Selain menjadi tradisi perayaan kebahagiaan bagi masyarakat yang tinggal di pulau itu, tellasan katopa' juga menjadi pengikat rindu bagi warga asal Pulau Madura yang merantau untuk pulang ke kampung halaman.

Baca juga: Kapal mudik gratis perdana Situbondo-Madura angkut 350 penumpang

Ketika warga Madura perantau pulang kampung untuk beridul fitri, biasanya mereka menunggu selesainya tellasan katopa' untuk kembali ke tempat perantauan.

Selain penjelasan lisan dari leluhur, keterangan lain menyebut bahwa makanan ketupat merupakan warisan dari Sunan Bonang, salah satu tokoh dari wali sembilan penyebar ajaran Islam di tanah Jawa. Sunan Bonang dikenal hidup dan berkiprah di wilayah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Tuban, Jawa Timur, dari 1465 hingga 1525 Masehi.

Sunan Bonang memperkenalkan tradisi itu sebagai ekspresi kesyukuran atas karunia dari Allah karena umat Islam diberi kemampuan untuk melaksanakan ibadah puasa satu bulan penuh. Ketupat menjadi menu makanan saat umat Islam merayakan Idul Fitri.

Sebagaimana ajaran-ajaran luhur lain dari proses penyebaran nilai-nilai agama di Nusantara, ketupat juga memiliki makna khusus yang diselipkan oleh Sunan Bonang untuk dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat Islam di tanah Jawa. Kata ketupat, dalam bahasa Jawa adalah kupat yang bermakna laku sing papat atau amalan yang empat.

Amalan yang empat itu adalah "lebar, lebur, luber, dan labur". Lebar memiliki makna kita telah menyelesaikan amalan puasa, lebur berarti terhapus semua dosa, luber adalah keberlimpahan pahala, dan labur berarti diri yang sudah suci.

Hanya saja, ketupat yang diperkenalkan oleh Sunan Bonang untuk menyambut Idul Fitri oleh masyarakat Madura diimplementasikan ulang dalam konteks perayaan pasca-puasa Syawal yang menunjukkan kreativitas berpikir orang Madura dalam menjalani dan memaknai kehidupan.

Karena itu, kalau di wilayah lain, saat Lebaran ada hidangan ketupat, di Madura hanya ada hidangan nasi dengan lauk, biasanya berasal dari daging sapi, kambing, atau ayam.

Tellasan katopa' merupakan kekayaan budaya di Madura yang sudah teruji ratusan tahun. Momentum lebaran khusus ini menjadi modal sosial untuk memupuk tali silaturahim, sekaligus bisa dimanfaatkan oleh pemerintah daerah setempat untuk dikelola, sehingga memperkaya sajian dari satu objek wisata.

Pemerintah Kabupaten Sumenep telah berupaya mengelola kekayaan budaya lokal ini untuk menjadi aset wisata dengan menggelar Festival Ketupat. Pada tahun 2024, Pemkab Sumenep menggelar Festival Ketupat yang ditempatkan di Pantai Lombang, salah satu objek wisata yang dikenal dengan keindahan pantai dan cemara udangnya.

Berbagai kegiatan digelar dalam festival itu, seperti lomba membuat ketupat dalam berbagai bentuk unik di luar katopa' biasa, seperti katopa' jheren (ketupat berbentuk kuda), katopa' toju' (ketupat duduk), katopa' jhuko' (ketupat ikan), dan katopa' masjid (ketupat berbentuk masjid).

Pada tahun 2025, Pemkab Sumenep kembali kembali menggelar Festival Ketupat yang dilaksanakan di Pantai Slopeng. Kabupaten Sumenep memang dikenal dengan kekayaan objek wisata pantai yang indah dan lengkap.

Pemerintah daerah lain di Madura, seperti Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan, sebetulnya bisa menggelar festival serupa yang sekaligus memancing wisatawan untuk datang menikmati masa libur Lebaran. Pilihannya bisa digelar sendiri-sendiri oleh masing-masing pemkab, atau bisa dalam bentuk kolaborasi antardaerah, sehingga festival ketupat bisa digelar bersama, dengan tempat bergiliran setiap tahunnya.

Baca juga: Ratusan warga Madura pulang kampung setelah Lebaran lewat Situbondo

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |