Mataram (ANTARA) - Aprialely Nirmala yang menjadi terdakwa satu dalam perkara korupsi proyek pembangunan gedung shelter tsunami Lombok Utara menangis saat membacakan pledoi atau nota pembelaan di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram, Rabu.
"Sejak kasus ini dibuka KPK tahun 2021, cobaan mulai bertubi-tubi menghampiri saya, orang tua saya meninggal, kakak, bibi saya," kata Aprialely Nirmala yang terhenti sejenak membacakan pledoi karena menahan tangis.
Atas adanya kasus ini, Aprialely dalam pledoi turut menyampaikan permintaan maaf kepada suami dan anak kandungnya yang terlihat hadir dalam persidangan.
"Maafkan mama nak, untuk satu tahun terakhir ini belum bisa menjadi ibu yang selalu ada buat kamu," ujarnya.
Dalam pledoi, Aprialely menyampaikan bahwa dirinya memang menduduki jabatan krusial sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek pelaksana tahun 2014 tersebut.
Baca juga: Terdakwa korupsi shelter tsunami NTB siap polisikan Direktur PT BKM
Meski demikian, dia meyakinkan majelis hakim perihal perubahan detail engineering design (DED) atau detail gambar kerja tahun 2014 hasil perencanaan PT Qorina Konsultan Indonesia tahun 2012 yang menjadi biang persoalan dalam perkara ini tidak serta merta muncul dari peran tunggal dirinya sebagai PPK pelaksana proyek.
Melainkan perubahan DED tahun 2014 tersebut muncul dari hasil kajian dan putusan bersama, baik dengan Kepala Bidang Cipta Karya Sadimin, Kepala Satuan Kerja Ika Sri Rejeki, Kementerian PUPR, dan pihak PT Qorina yang diwakili Rachmat Agung.
Dia mengakui bahwa dampak paling krusial akibat bencana gempa bumi di Pulau Lombok dengan kekuatan 6,9 skala Richter tahun 2018 tersebut hanya pada ramp dan tangga bangunan yang roboh.
Dia menegaskan kembali dalam pledoinya bahwa desain dan spesifikasi pekerjaan ramp dan tangga itu tidak ikut berubah dalam DED tahun 2014.
"Saya juga menyayangkan diri saya baru tahu dalam fakta yang terungkap di persidangan, kalau pihak perusahaan konsultan perencanaan DED tahun 2012 ini merupakan hasil pinjam bendera, tidak murni dari perusahaan yang memang punya kompetensi di bidang itu," ujarnya.
Baca juga: Terdakwa korupsi shelter tsunami sebut dakwaan jaksa KPK tidak sah
Dia juga menyayangkan peran konsultan pengawas pelaksana proyek dari CV Adi Cipta yang tidak menjalankan tugas dengan teliti, karena sudah meloloskan hasil pekerjaan tersebut.
Meski demikian, Aprialely mengakui bahwa kesalahan itu tidak lepas dari peran dirinya sebagai PPK pelaksana proyek.
"Kalau boleh dikasih kesempatan, hukuman yang diberikan kepada saya bisa digantikan dengan memperbaiki kerusakan ramp dan tangga itu, saya akan ganti," ucap dia.
Jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada sidang pekan lalu, Jumat (16/5), dengan agenda tuntutan meminta majelis hakim agar menjatuhkan pidana kepada Aprialely dengan hukuman penjara selama 6 tahun dan denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan pengganti.
Jaksa menyatakan perbuatan Aprialely bersama terbukti melanggar dakwaan alternatif pertama, yakni Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Jaksa menerapkan tuntutan tersebut dengan menyatakan proyek bernilai Rp20,9 miliar dari hasil pekerjaan PT Waskita Karya tersebut telah gagal bangunan dengan mutu bangunan yang kurang berkualitas.
Baca juga: Terdakwa shelter tsunami ajukan eksepsi terkait penanganan Polda NTB
Baca juga: KPK tahan dua tersangka shelter tsunami di dua lapas wilayah Lombok
Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025