Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan pengusaha manufaktur di Tanah Air tetap memperluas lapangan pekerjaan, meski Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Mei 2025 terjadi kontraksi di angka 47,4 poin.
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif di Jakarta, Senin menyatakan hasil survei yang dikeluarkan oleh S&P Global itu menunjukkan bahwa terjadinya penurunan pada pesanan baru di bulan Mei.
Penurunan pesanan ini karena lesunya permintaan pasar, termasuk yang ingin menembus pasar ekspor, khususnya ke Amerika Serikat karena dampak tarif.
Dijelaskannya, meski mengalami tekanan dinamika global, sektor manufaktur tetap menunjukkan optimisme perluasan tenaga kerja. Hal ini tercermin dari jumlah perusahaan industri yang melapor sedang dalam proses pembangunan fasilitas produksi sebanyak 359 perusahaan, dengan serapan tenaga kerja sebanyak 97.898 orang pada triwulan I 2025.
Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di semua sektor termasuk sektor industri manufaktur, yang disampaikan oleh pihak lain ke publik.
Perusahaan yang membangun fasilitas produksi pada triwulan I tersebut merupakan bukti bahwa ada optimisme tinggi dari sisi serapan tenaga kerja di Indonesia.
Lebih lanjut, Jubir Kemenperin menyampaikan, pengiriman ekspor juga mengalami kendala karena sulit mendapatkan kapal sebagai alat angkut logistik dan pengaruh cuaca buruk. Bahkan, perlambatan kinerja industri manufaktur juga karena volume produksi yang anjlok, salah satunya akibat harga bahan baku yang terus naik.
“Ini yang membuat industri kita tidak berdaya saing dengan kompetitor, karena harga jual dari kompetitor juga tidak naik, terjadilah efisiensi,” kata dia.
Disampaikan dia, pihaknya dan kementerian lembaga lain memiliki berbagai program yang bisa dimanfaatkan oleh para pekerja yang terkena PHK, misalnya program peningkatan kompetensi atau reskilling, program menjadi wirausaha industri baru, atau memfasilitasi pekerja tersebut pindah ke perusahaan lain yang berdekatan dengan lokasi perusahaan sebelumnya.
Febri menyatakan, saat ini pemerintah mengeluarkan kebijakan insentif upah mencakup PPH 21 sebesar tiga persen untuk pekerja industri padat karya. Ia berharap insentif itu segera dikeluarkan supaya bisa menopang produksi yang dilakukan oleh pekerja di perusahaan industri.
“Para pelaku industri banyak yang mengapresiasi terhadap terbitnya kebijakan baru yang pro industri, yakni No. 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Pemerintah. Kebijakan ini yang disebut oleh Pak Menteri Perindustrian, kebijakan yang afirmatif dan progresif, di mana ada aturan tentang belanja pemerintah yang wajib memprioritaskan untuk membeli produk manufaktur dalam negeri. Belanja pemerintah untuk produk jadi impor berada pada urutan prioritas kelima di bawah urutan produk dalam negeri,” ujarnya.
Selain itu, disampaikan Febri, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita tengah mereformasi kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), terutama kebijakan terkait Tata Cara Perhitungan TKDN agar lebih sederhana, waktu singkat, dan berbiaya murah.
Langkah tersebut bertujuan agar semakin banyak produk industri dalam negeri yang memiliki sertifikat TKDN dan dibeli oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD.
Sebagaimana diketahui, terdapat 14.030 perusahaan industri yang memproduksi produk dengan TKDN yang produknya dibeli melalui belanja pemerintah dan BUMN/BUMD. Penyerapan tenaga kerja pada perusahaan tersebut ditaksir mencapai 1,7 juta orang.
“Jadi, dengan terbitnya Perpres tersebut telah memicu peningkatan demand produk industri tersebut dan menghindarkannya dari penurunan utilisasi, penutupan industri dan PHK atas pekerjanya,” kata Febri.
Dalam memperingati Hari Lahir Pancasila, Jubir Kemenperin menyampaikan, semua pemangku kepentingan industri manufaktur untuk memiliki visi yang sama dalam memahami nilai-nilai Pancasila, terutama dalam upaya membangun sektor industri sebagai tulang punggung perekonomian nasional.
Menanggapi capaian PMI manufaktur Indonesia pada Mei 2025, Ekonom S&P Global Market Intelligence Usamah Bhatti menyampaikan, kinerja industri manufaktur Indonesia mengalami penurunan karena merosotnya permintaan baru dalam waktu hampir empat tahun belakangan. Hal ini menyebabkan penurunan solid pada volume produksi.
“Ekspor juga terus menurun, sementara perusahaan berupaya menyesuaikan inventaris dan tingkat pembelian menanggapi kondisi permintaan yang lemah. Namun demikian, perusahaan yakin periode penurunan ini akan berlalu karena mereka menaikkan tingkat ketenagakerjaan, sementara kepercayaan diri terkait perkiraan 12 bulan output juga menguat,” katanya.
Adapun PMI manufaktur Indonesia tetap berada di fase kontraksi yaitu 47,4 poin, namun angka tersebut meningkat dibanding bulan April yang berada di level 46,7.
Selain Indonesia, negara yang juga mengalami kontraksi pada Mei 2025, yakni Vietnam (49,8), Prancis (49,5), Jepang (49,0), Jerman (48,8), Taiwan (48,6), Korea Selatan (47,7), Myanmar (47,6), dan Inggris (45,1).
Baca juga: Kemenperin catat 97.898 tenaga kerja terserap pada triwulan I 2025
Baca juga: Menperin sebut masuknya RI ke BRICS langkah strategis pacu manufaktur
Baca juga: Kemenperin nilai PMI manufaktur turun karena tarif AS dan banjir impor
Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2025