Jakarta (ANTARA) - Kementerian Keuangan membantah sistem Coretax menjadi pemicu melambatnya penerimaan pajak hingga Februari 2025.
Realisasi penerimaan pajak pada Januari hingga Februari 2025 tercatat sebesar Rp187,8 triliun. Angka itu turun signifikan bila dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp269,02 triliun.
Namun, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyatakan, perlambatan itu merupakan suatu hal yang normal.
“Tidak ada hal yang anomali, sifatnya normal saja,” kata Anggito dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Maret 2025 di Jakarta, Kamis.
Secara tren historis, penerimaan pajak pada bulan Januari dan Februari cenderung menurun dibandingkan Desember tahun sebelumnya. Penerimaan akan meningkat pada Desember imbas Natal dan Tahun Baru. Kemudian, penerimaan menurun usai pergantian tahun seiring dengan kembali normalnya transaksi penerimaan.
Adapun untuk pajak Januari dan Februari 2025, Anggito menyebut ada dua faktor yang memicu perlambatan penerimaan, yaitu penurunan harga komoditas dan dampak kebijakan administratif.
Pada Januari-Februari, sejumlah komoditas utama mengalami penurunan harga, di antaranya batu bara (-11,8 persen), brent (-5,2 persen), dan nikel (-5,9 persen).
Sedangkan dari segi kebijakan administratif, penerapan tarif efektif rata-rata (TER) menjadi salah satu yang mempengaruhi kinerja pajak.
Anggito menjelaskan, penerapan TER pajak penghasilan (PPh) 21 sejak Januari 2024 menimbulkan lebih bayar sebesar Rp16,5 triliun pada 2024. Lebih bayar itu kemudian diklaim kembali pada Januari dan Februari 2025.
Selain TER, relaksasi penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri (DN) menjadi faktor berikutnya.
Pada 2025, pemerintah memberikan kebijakan relaksasi pembayaran PPN DN selama 10 hari, sehingga pembayaran bisa dilakukan hingga 10 Maret 2025.
Bila dampak relaksasi juga dihitung, maka rata-rata penerimaan PPN DN periode Desember 2024-Februari 2025 mencapai Rp69,5 triliun atau lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp64,2 triliun, atau tumbuh sekitar 8,3 persen.
“Itu menjelaskan kenapa pola Februari 2025 agak berbeda dengan pola tahun sebelumnya. Tapi, setelah dinormalisasi dan dampaknya diketahui sampai dengan 10 Maret, maka polanya sama seperti yang normal,” ujar Anggito.
Pewarta: Imamatul Silfia
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2025