Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa testimoni serta kisah-kisah positif tentang keberhasilan imunisasi efektif membangun kepercayaan publik guna meningkatkan cakupan imunisasi, sehingga hal-hal seperti itu perlu disebarluaskan oleh para pemengaruh (influencer).
Dalam gelar wicara bertajuk "Peran Media Sosial dalam Penyebaran Informasi Imunisasi" yang disiarkan di Jakarta, Rabu, Direktur Imunisasi Kementerian Kesehatan dr. Prima Yosephine menyebutkan bahwa testimoni diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas bagi publik tentang apa yang akan dialami seandainya tidak imunisasi.
Dia mencontohkan dengan sebuah kisah tentang seorang perempuan yang anaknya, bernama Ubii, terkena sindrom rubella kongenital, karena perempuan tersebut terserang rubella saat hamil.
Pada video testimoni yang diputarkan saat gelar wicara itu, ibu muda itu menyebutkan bahwa saat hamil, dia merasa demam, sakit kepala tak tertahankan, serta keluar bintik-bintik merah di seluruh tubuh. Ketika ke dokter, ibu muda itu hanya diminta minum air kelapa hijau, karena diduga hanya kelelahan.
Saat Ubii lahir, ibu muda itu tersebut merasa ada yang aneh pada bayinya, karena bayinya begitu pasif, posturnya aneh, dan rewel. Awalnya dia tersebut mengira bahwa masalah pada Ubii hanya kebocoran jantung saja, namun akhirnya dia mengetahui bahwa anaknya juga menderita gangguan pendengaran berat, ketika dirinya meledakkan balon di dekat bayi itu dan tidak mendapatkan reaksi.
Ibu muda tersebut mengaku merasa hancur, dan semakin kaget ketika mengetahui bahwa ada pengapuran di otak Ubi. Sejak itu dia sering bertengkar dengan suaminya karena bingung cara membesarkan anak dengan disabilitas, namun keduanya tetap berusaha tegar dan membesarkan Ubii meski tumbuh kembang Ubii begitu terhambat.
Baca juga: Kemenkes gandeng influencer sebarkan info guna galakkan imunisasi
Baca juga: Kemenkes: Cakupan vaksin Rotavirus 2025 per Maret baru 5,4 persen
Sayangnya, kata Prima, Ubii meninggal saat berusia 12 tahun. Menurutnya, Ubii menjadi pahlawan yang mengingatkan orang lain tentang betapa pentingnya imunisasi untuk mencegah penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
"Rubella itu pencegahannya adalah dengan imunisasi dan memang imunisasi yang kita berikan bukan kepada ibu hamil. Imunisasi rubella itu justru kita berikan kepada bayi umur 9 bulan, kemudian nanti waktu dia umur 18 bulan itu yang kita berikan kemudian nanti waktu anak sekolah di kelas 1 SD kita berikan lagi," dia menuturkan.
Adapun imunisasi itu diberikan pada anak-anak karena rubella paling sering menyerang kelompok itu. Namun, katanya, yang menjadi fatal adalah ketika rubella menyerang perempuan yang hamil muda.
"Ibu ini tertular sebetulnya dari anak-anak di sekitarnya yang kebetulan menderita infeksi rubella. Itu yang kita cegah dengan memberikan imunisasi, sekarang imunisasinya digabung jadi campak-rubella. Sekali beri ada dua penyakit yang bisa dicegah," katanya.
Menurutnya, Pekan Imunisasi Dunia adalah waktu yang paling tepat untuk memviralkan informasi tentang pentingnya imunisasi kepada publik. Oleh karena itu, pihaknya juga mengajak para pemengaruh (influencer) guna menyebarkan pesan tersebut.
Selain itu, dia mengingatkan bagi para pemengaruh untuk menyebarkan informasi seputar imunisasi hanya dari pihak-pihak kredibel seperti WHO dan Kemenkes.
Baca juga: Kemenkes akan beri imunisasi heksavalen mulai triwulan ketiga 2025
Baca juga: Kemenkes: Imunisasi PCV 2025 per Maret baru mencapai 8 persen
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2025