Jakarta (ANTARA) - Kelapa sejatinya merupakan komoditas tradisional dan unggulan Nusantara, namun kondisi agribisnis ini, kini sangat memerlukan perhatian khusus.
Luas perkebunan kelapa masih stagnan sekitar 3,3 juta hektare, dengan total produksi di angka 2,7 juta ton, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Di saat produksi tertekan, harga kelapa bulat pada beberapa bulan terakhir ini melonjak tajam. Di Riau, sentra produsen kelapa terbesar di Indonesia, harga per butir naik dari Rp2.900/kg menjadi Rp8.000/kg dalam kurun 2024–2025.
Sayangnya, lonjakan harga ini, meskipun membuat petani kelapa tersenyum, belum berdampak signifikan bagi kesejahteraan mereka. Jika kita telisik lebih dalam, harga di daerah pemasaran, pada tingkat konsumen lebih tinggi lagi, yakni Rp13.769 hingga Rp21.000/kg per April 2025. Kondisi ini mengindikasikan adanya margin distribusi yang sangat besar, dan menandakan bahwa rantai pasok kelapa masih bermasalah serta tidak efisien.
Ketimpangan ini tidak menguntungkan bagi ekosistem industri secara keseluruhan, dimana pelaku usaha, khususnya pedagang di hilir, dapat menikmati margin berlebih saat terjadinya sortasi pasokan dalam negeri. Kondisi tersebut tentu menyulitkan agenda hilirisasi industri kelapa yang seharusnya mampu mendongkrak nilai tambah, memberikan efek ganda bagi perekonomian daerah dan meningkatkan daya saing komoditas ini di pasar global.
Tata niaga komoditas ini Indonesia memang sebuah ironi dan penuh dilema, dimana kebijakan belum sepenuhnya berpihak pada integrasi rantai nilai. Petani kelapa terjebak pada margin perdagangan yang timpang, dan rantai pasok belum optimal.
Baca juga: Indonesia teken kontrak ekspor kelapa parut ke Mesir
Kebijakan selaras
Sejumlah regulasi yang tidak sinergis menjadi biang keruwetan tata niaga kelapa. Kebijakan pajak dan ekspor yang timpang mendorong para petani lebih senang menjual buah mentah ke pasar ekspor, ketimbang ke industri dalam negeri.
Selama ini, pembeli bahan baku industri kelapa, seperti kopra, VCO, dan produk lain dikenai PPN 10 persen, meskipun sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 64/PMK.03/2022 tarif PPN atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu, termasuk kelapa, ditetapkan sebesar 1,1 persen dari harga jual.
Di sisi lain, ekspor buah kelapa utuh sama sekali tidak kena pajak. Kondisi ini membuat petani lebih memilih mengekspor kelapa utuh demi harga sesaat yang lebih tinggi. Industri pengolahan lokal pun kekurangan pasokan. Berbagai pihak, termasuk industri pengolahan kelapa dan anggota DPR/DPD menyoroti kondisi ini.
Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) mendesak agar pemerintah segera mengatur ekspor kelapa segar, karena selama ini tidak ada aturan sama sekali, sehingga banyak kelapa mentah diekspor tanpa nilai tambah untuk ekonomi lokal.
Beberapa pihak di pemerintahan menegaskan pentingnya reformasi tata niaga dan mengusulkan skema tarif ekspor dan pengenaan pajak atas buah kelapa yang diekspor, agar kelapa yang dipanen masyarakat tidak keluar negeri mentah tetapi diolah di dalam negeri
Selain itu, regulasi di tingkat daerah dan perizinan sering tumpang-tindih. Belum ada mekanisme harga patokan ekspor (HPE) khusus kelapa (hanya untuk sawit), dan mekanisme harga di tingkat petani relatif bebas pasar. Pemerintah pusat dan daerah perlu segera menetapkan kebijakan tarif atau kuota ekspor kelapa utuh serta insentif bagi pelaku hilirisasi.
Regulasi peremajaan (replanting) juga penting, dimana usia pohon kelapa sudah sangat tua dan produktivitas rendah, sehingga program revitalisasi perkebunan kelapa harus sejalan dengan insentif bagi petani (sarana produksi, kredit murah, peralatan panen) agar kualitas dan kontinuitas pasokan dapat meningkat.
Copyright © ANTARA 2025