London (ANTARA) - Survei tahunan tentang opini publik Inggris terhadap kebijakan luar negeri menunjukkan bahwa hubungan khusus Inggris dengan Amerika Serikat (AS), yang pernah dipuji-puji, sedang melemah di bawah kepemimpinan Presiden AS Donald Trump, dan warga Inggris kini kembali mengalihkan pandangan ke Eropa di tengah ketidakpastian strategis dan kebijakan AS yang berubah-ubah.
Dukungan publik terhadap hubungan Inggris-AS telah runtuh, dengan Presiden Trump kini secara luas dipandang sebagai sosok yang merugikan kepentingan nasional Inggris, sebut hasil survei yang dirilis pada Kamis (17/7) oleh British Foreign Policy Group (BFPG), sebuah wadah pemikir (think tank) independen yang berbasis di London.
Survei BFPG menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan terhadap AS telah anjlok dari 53 persen pada 2024 menjadi hanya 38 persen pada 2025. Kini, makin banyak warga Inggris yang tidak percaya bahwa AS akan bertindak secara bertanggung jawab di kancah dunia.
"Saya tidak terkejut hasil survei menunjukkan penurunan kepercayaan terhadap Donald Trump," ungkap Michael Haycock (42) asal Cheshire.
"Dia terlalu sering berubah pikiran, dan kita tidak tahu harus bersikap seperti apa. Satu waktu dia seperti teman baik kita, tetapi berikutnya dia menentang kita. Kita sebaiknya berhenti memercayai Trump dan berjalan dengan cara kita sendiri," katanya.
Survei tersebut juga mengungkap adanya pergeseran yang signifikan di kalangan warga Inggris untuk kembali beralih ke Eropa dan Uni Eropa (EU). Bahkan, di kalangan warga yang dulunya memilih untuk keluar dari EU, terdapat dukungan yang makin besar pada kerja sama yang lebih erat dengan Brussel. Mayoritas responden kini mengidentifikasi diri mereka sebagai warga Eropa, karena konflik di Ukraina, dampak Brexit, dan persepsi tentang penghematan AS telah mendorong sentimen publik kembali condong ke UE.
Lebih dari 60 persen responden meyakini bahwa Inggris seharusnya kembali mendekatkan diri dengan UE sebagai dampak langsung dari kepemimpinan Trump.
Sebagian besar responden juga mendukung kesepakatan-kesepakatan penting yang dicapai dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Inggris-EU baru-baru ini, dengan 83 persen mendukung peningkatan kerja sama di bidang pertahanan dan keamanan, 79 persen mendukung pengurangan hambatan perdagangan terhadap makanan dan minuman, dan 78 persen mendukung pemberian akses gerbang ePassport bagi warga Inggris yang bepergian di Eropa.
Di kalangan para pemilih yang mendukung Brexit (leave voter), sebanyak 78 persen kini mendukung kesepakatan kerja sama pertahanan dan keamanan terbaru dengan EE.
Sentimen tersebut disampaikan pula oleh Maureen Tarpey (38) asal Liverpool, yang kini mulai meragukan tentang keputusan Brexit. "Saya memilih untuk keluar dari EU. Saya tidak menyesalinya, tetapi jika ada pemungutan suara kembali, saya akan memilih untuk kembali ke EU," ungkapnya.
"Cara Trump bertindak akan membuat lebih banyak orang ingin menjalin hubungan yang lebih baik dengan Eropa," katanya.
Ian Scott, seorang ahli sejarah Amerika di Universitas Manchester, mengatakan kepada Xinhua bahwa gaya Trump yang sembrono dan transaksional bertentangan dengan budaya politik Inggris. "Trump telah berkontribusi besar, secara sosial maupun kultural, dalam menjauhkan warga Inggris dari apa yang mereka anggap sebagai Amerika Serikat yang seharusnya," ujarnya.
Scott menambahkan bahwa tim Trump kini terdiri dari orang-orang yang lebih digerakkan oleh ideologi, dan mereka tampaknya tidak tertarik pada tradisi aliansi Inggris-AS. "Ada kecurigaan mendalam terhadap kemunduran budaya di AS yang menurut warga Inggris berpotensi menghancurkan tatanan sosial," tuturnya.
Pewarta: Xinhua / Zheng Bofei, Larry Neild
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.